Selasa, 17 Januari 2017

PERSAMAAN CORAK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA, MALAYSIA, THAILAND SELATAN, BRUNEI DARUSSALAM DAN KAMBOJA



 Oleh Bintar Mupiza
Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia

Asia Tenggara adalah sebuah kawasan yang telah menjadi pusat persimpangan peradaban di Asia. Corak kebudayaan dari berbagai kawasan dapat menyatu di kawasan ini dengan merata hampir di setiap negara yang ada di dalamnya. Dalam mencari contoh daripada perkawinan lintas kebudayaan adalah penggunaan Garuda di Indonesia dan Thailand sebagai lambang negara. Garuda dikenal sebagai salah satu dewa dalam agama Hindu, sementara Indonesia dan Thailand merupakan dua negara yang bukan merupakan mayoritas Hindu, sebaliknya kedua negara adalah berpenduduk mayoritas Muslim (Indonesia) dan Budha (Thailand). Penggunaan Garuda merupakan salah satu contoh dimana bukti bahwa negara di Asia Tenggara adalah tempat persimpangan kebudayaan dan peradaban. Selain dari pengaruh Hindu yang berasal dari tanah Hindustan (India) Asia Tenggara juga mendapat pengaruh dari tanah Arab. Dimana lebih khususnya adalah perkembangan Islam di kawasan ini.
            Islam sebagai agama di Asia Tenggara telah menggantikan dominasi agama Hindu dan Budha di beberapa tempat, terutama di wilayah yang disebut sebagai Nusantara. Yang mana mencangkup negara-negara yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand Selatan dan Filipina Selatan. Dalam pengunaan yang lebih lama, wilayah kerajaan Champa yang sekarang dikenal dengan wilayah Vietnam bagian Selatan juga dimasukan dalam wilayah Nusantara. Pengkategorian wilayah-wilayah diatas sebagai wilayah Nusantara juga bukan tidak ber-alasan. Setidaknya terdapat dua alasan mengapa daerah diatas disebut dalam wilayah Nusantara dan merasa bagian dari Nusantara. Pertama, Terminologi Nusantara dicetuskan oleh Sri Mahapatih Gajah Mada, yang mana berjanji akan menyatukan wilayah yang disebut sebagai Nusantara dalam sumpah Palapa dibawah imperium Majapahit. Dalam sumpahnya, Gajah Mada berjanji akan menyatukan beberapa wilayah yang mana dalam dunia sekarang dikenal sebagai wilayah negara-negara yang telah disebutkan sebelumnya. Sehingga penggunaan istilah Nusantara merujuk pada bekas wilayah yang dijanjikan oleh Gajah mada dalam sumpah palapa. Dalam perkembanganya, wilayah-wilayah diatas juga mengakui diri sebagai bagian dari pada Nusantara. Dalam konteks Malaysia, Brunei Darussalam, istilah Nusantara juga disandingkan dengan istilah Alam Melayu, yang mana juga merujuk pada hal yang sama. Kedua, Nusantara juga disandingkan pada persamaan yang ada dalam kawasan ini, yaitu persamaan akan budaya, dimana Nusantara merupakan wilayah yang merajut persamaan dalam rumpun Melayu. Selain itu persamaan juga tidak sebatas budaya, melainkan secara garis keturunan, penduduk di wilayah ini juga memiliki garis keturunan yang sama. Disamping itu, penggunaan rumpun bahasa Austronesia juga menjadi penguat garis kedekatan kawasan ini, yang membedakan dengan negara lain di Asia Tenggara.
            Persamaan yang ada dalam khazanah Nusantara tersebut mendorong akses komunikasi, perpindahan antar wilayah ke wilayah lain sebelum terbentuknya negara modern menjadi lebih mudah. Sehingga mengherankan apabila terdapat corak Islam yang sama antara negara-negara yang dinaungi dalam wilayah Nusantara. Dalam perkembanganya, setelah muncul negara-negara modern paska kemerdekaan dari penjajah asing, maka corak yang berkembang di masing-masing negara memiliki perbedaan. Meskipun begitu dalam haluan besar keagamaan, masih memiliki corak yang dapat disandingkan satu sama lain.
            Kesatuan wilayah yang mana telah terbentuk sebelum adanya negara modern dalam bingkai Nusantara atau Alam Melayu telah mendorong adanya persamaan corak. Salah satunya adalah pendidikan Islam yang ada di kawasan Nusantara. Dimana Alam Melayu Nusantara memiliki corak yang cukup berbeda, yang memiliki ciri khas dari pola pendidikan Islam di kawasan lain termasuk Timur Tengah. Adapun dalam konteks modern, negara-negara yang dapat dikategorikan sebagai Alam Melayu Nusantara adalah Indonesia, Thailand Selatan, Malaysia, Brunei Darussalam dan Kamboja.
Pondok Pesantren
            Pondok atau Pesantren merupakan ciri khas pendidikan Islam di wilayah Alam Melayu Nusantara. Dimana praktik pendidikan semacam ini meniru gaya pendidikan pendeta Hindu dan Budha di masa lampau yang disebut Pasraman (Hindu) dan Mandala (Budha) (Merdeka, 2014). Yang mana pola pendidikan ini kemudian diadopsi oleh para pendakwah Nusantara untuk menghasilkan pendakwah yang mumpuni. Dalam praktiknya, pola pendidikan pondok atau pesantren mengabungkan sistem asrama dan pendidikan Islam. Dimana murid di didik oleh pengajar dalam suatu wilayah dengan pengajaran ilmu agama yang terbagi dalam berbagai bidang agama, seperti fiqh, nahwu sorof dan lain sebagainya. Pada hakikatnya corak pendidikan pondok atau pesantren dipraktikan luas di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand bagian Selatan. Yang mana telah banyak dibentuk sejak sebelum terbentuknya negara-negara modern di kawasan.
Mahzab Sunni Syafi’i
            Dalam konteks kekinian, telah banyak berdiri pondok pesantren yang bercorak dari berbagai firqah dalam tubuh umat Islam yang mana bukan merupakan bagian daripada mahzab Sunni Syafi’i. Namun pada hakikatnya pondok pesantren yang ada di negara-negara yaitu Indonesia (Republika, 2016), Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand Selatan (Joseph Chinyong Liow, 2009) dan Kamboja masih di dominasi oleh mahzab Sunni Syafi’i sebagai konsekuensi Sunni Syafi’i menjadi mahzab mayoritas yang dianut bahkan mahzab resmi negara seperti di Brunei Darussalam (Constitution of Brunei Darussalam). hal ini tidak terlepasnya pada fakta bahwa pendakwah Sunni Syafi’i yang mengiatkan penyebaran agama di wilayah Nusantara. Dalam konteks kotemporer bahkan pendakwah Sunni Syafi’i yang berasal dari Malaysia melakukan pembaharuan terhadap muslim Champa yang menganut aliran sesat Islam bani yang tinggal di perbatasan Kamboja dan Vietnam.
            Adanya mahzab Sunni Syafi’i sebagai penyebar Islam awal di Nusantara tidak terlepas dari peran pedagang India.GWJ Drewes dalam buku “New Light on The Coming of Islam to Indonesia” menjabarkan bahwa terdapat kaitan tentang asal Islam di Nusantara dengan Gujarat dan Malabar. Lebih lanjut menurut pakar dari Universitas Leidin, Pijnapple, asal kedatangan Islam di Nusantara berasal dari anak India, bukan  dari Persia ataupun Arabia. Sehingga menurut Pijnapple (Republika, 2016), orang-orang India yang bermahzab Sunni Syafi’i tersebut menyebarkan Islam di Nusantara. Sehingga tidak mengherankan apanila corak Islam di Nusantara kemudian berwarna Sunni Syafi’i.
            Dalam perkembanganya, mahzab Sunni Syafi’i ini kemudian dijadikan landasan pengajaran bagi Muslim yang tinggal di wilayah-wilayah yang ada di kawasan Alam Melayu Nusantara. Dimana pondok pesantren merupakan institusi yang sangat berjasa besar dalam melahirkan mubaligh baru dalam agama yang ada di kawasan.

Aksara Arab Khas Nusantara
            Sebagai sebuah kawasan yang merupakan persimpangan berbagai kebudayaan dan peradaban, wilayah Asia Tenggara, pada khususnya Nusantara juga memiliki pengembangan ilmu pengetahuan termasuk sastra yang berbeda dengan kawasan asal agama Islam berkembang. Penduduk Nusantara yang memiliki bahasa dan pengucapan lafal yang berbeda dari orang Arab memiliki inisiasi untuk mengembangkan aksara adaptasi dari alphabet Arab dengan dikondisikan dengan pengucapan dan cara bertutur masyrakat Nusantara. Meskipun begitu penggunaan aksara ini diawali sejalan dengan masuknya Islam di tanah Jawa (Noriah Mohamed, 2001). Hal ini yang kemudian melandasi tercetusnya huruf Arab Khas Nusantara. Di wilayah Indonesia, aksara adaptasi ini disebut sebagai Arab Pegon atau Arab Gundul. Sementara di wilayah Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand Selatan aksara adaptasi ini disebut sebagai huruf Jawi (Anna M. Gade, 2004). Penyebutan Jawi oleh orang-orang di negeri Melayu memang masih diperdebatkan. Namun salah satu teori menduga bahwa merujuk pada tanah Jawa atau Jawi. Mengingat salah satu kemunculanya berasal dari tanah Jawa.
            Dalam tabel I.1 dan I.2 ditunjukan aksara Jawi atau Arab Pegon yang digunakan oleh Muslim di Nusantara.
Tabel I.1 (Huruf Arab Adaptasi Nusantara)
Tabel I.2 (Komparasi Aksara Arab Nusantara dengan Arab dan Persia)

            Dalam fungsinya, penggunaan Aksara ini terbagi menjadi dua, Pertama digunakan sebagai aksara resmi dan bahasa pengajaran. Sementara Kedua, digunakan sebagai aksara pendidikan dan penulisan Kitab. Dalam penggunaan sebagai aksara resmi, Brunei Darussalam (Brunei Times, 2014), dan Thailand bagian Selatan daerah Pattani menggunakan akasara ini sebagai aksara resmi selain aksara romawi dan lokal (Tribunnews, 2015). Sementara itu di Malaysia penggunaan aksara ini juga umum di tempat publik dan juga pendidikan agama. Sementara di Indonesia, penggunaan Arab Jawi digunakan dalam lintas pendidikan di pesantren (STAIN PEKALONGAN). Disamping itu penggunaan Arab Jawi juga digunakan di Kamboja sebagai aksara penyampaian materi agama di madrasah-madrasah, terutama di Kampong Cham, yang mana daerah mayoritas Islam di Kamboja (Nu Online, 2008).
            Pengunaan aksara Arab Jawi merupakan hal yang wajar di kalangan pesantren dan sekolah yang ada di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand bagian Selatan dan Kamboja. Hal ini dapat dipahami karena aksara Arab Jawi sudah digunakan ketika penyebaran Islam bermula di Nusantara. Selain itu adaptasi dari pelafalan orang Nusantara juga menjadi alasan mendasar penggunaan aksara Jawi masih tetap dipertahanankan. Lebih dari itu, aksara Jawi tetap dipertahankan dalam arus modernisasi dikarenakan aksara ini mewakili identitas masyarakat Islam Nusantara. Dibuktikan meskipun aksara Romawi telah digunakan atau dalam konteks Thailand bagian Selatan dan Kamboja telah digantikan aksara Thai dan Khmer, namun aksara ini tetap digunakan sebagai jati diri dan identitas daripada Islam di Alam Melayu Nusantara. Corak pendidikan Islam di negara-negara yang telah disebutkan diatas pada khususnya pengunaan Arab Jawi, juga merupakan bagian dari ciri khas yang tidak dapat ditemukan di negara Islam manapun di dunia. Karena penggunaan aksara Jawi hanya terdapat di kawasan ini.
Kesimpulan
            Corak pendidikan Islam di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand bagian Selatan dan Kamboja dapat dibagi menjadi tiga ciri besar. Pertama adalah adanya pondok Pesantren, yang mana merupakan institusi pendidikan khusus yang ada di Alam Melayu Nusantara. Kedua, dalam proses pendidikanya, pondok Pesantren di kawasan telah lama mengamalkan dan menggunakan mahzab Sunni Syafi’i sebagai landasan pengajaran Islam di madrasah. Yang mana tidak heran apabila ditemukan kesamaan praktik keagamaan dalam konteks fiqh ibadah dan amaliah di negara-negara diatas. Ketiga, terlebih dari dua alasan itu, corak pendidikan Islam di negara-negara diatas lebih menekankan pada pengembangan adaptasi lokal. Yang mana salah satu hasilnya adalah penggunaan aksara Arab Jawi. Dimana aksara ini digunakan dengan penyesuaian lidah dan pelafalan masyarakat Islam Nusantara. Dan pada prakitknya penggunaan aksara ini lebih banyak digunakan dalam pondok pesantren dan madrasah yang ada di negara-negara dalam cangkupan pembahasan dalam tulisan ini.

 

Daftar Pustaka
Anna M. Gade. (2004). Perfection Makes Practice: Learning, Emotion, and the Recited Qurʼān in Indonesia. Hawaii: University of Hawaii Press.
Brunei Times. (2014). An Origins of Jawis Origins in Brunei Darussalam. Retrieved Desember 20, 2016, from http://www.bt.com.bn/features/2007/09/16/an_overview_of_jawis_origins_in_brunei
Constitution of Brunei Darussalam. (n.d.). Retrieved Desember 20, 2016, from http://www.parliament.am/library/sahmanadrutyunner/bruneydarusalam.pdf
Joseph Chinyong Liow. (2009). Islam, Education, and Reform in Southern Thailand: Tradition & Transformation. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Merdeka. (2014, Juni 23). Adopsi Hindu-Buddha, Sunan Gresik mengganti mandala jadi pesantren. Retrieved Desember 20, 2016, from https://www.merdeka.com/ramadan/adopsi-hindu-buddha-sunan-gresik-mengganti-mandala-jadi-pesantren.html
Noriah Mohamed. (2001). Aksara Jawi: Makna dan Fungsi. Universiti Kebangsaan Malaysia, 01.
Nu Online. (2008, Maret 13). Kitab Ulama ’Jawi’ Jadi Rujukan Umat Islam Kamboja. Retrieved Desember 20, 2016, from http://www.nu.or.id/post/read/11581/kitab-ulama-amp8217jawiamp8217-jadi-rujukan-umat-islam-kamboja
Republika. (2016, Juni 06). Mengapa Umat Islam Indonesia Bermazhab Syafi'i? Ini Jawabannya. Retrieved Desember 20, 2016, from http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/16/06/02/o84jwk320-mengapa-umat-islam-indonesia-bermazhab-syafii-ini-jawabannya
STAIN PEKALONGAN. (n.d.). Retrieved from http://elc.stain-pekalongan.ac.id/581/6/12.%20BAB%20I.pdf
Tribunnews. (2015, Agustus 25). Memahami Aksara Jawi Rasa Thailand. Retrieved Desember 20, 2016, from http://surabaya.tribunnews.com/2015/08/23/memahami-bahasa-jawi-rasa-thailand

Korelasi Prinsip-Prinsip Diplomasi Islam Dalam Konteks Hubungan Internasional Kontemporer



 Oleh Bintar Mupiza
Jurusan Hubungan Internasional (kosentrasi Politik Islam di Asia Tenggara), Fakultas Psikologi dan Sosial Budayam Universitas Islam Indonesia



Credit : http://photos.state.gov/galleries/amgov/4110/cartoon_int_relations/02money1.jpg
Dalam sistem dunia modern, telah banyak nilai-nilai yang kemudian diadopsi sebagai landasan dasar interaksi negara-negara di dunia, yang mana nilai ini dianggap sebagai nilai universal. Nilai-nilai dalam dunia modern dewasa ini, banyak dipromosikan oleh negara-negara barat. Seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang mana banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai barat. Sebagai pihak yang mencetuskan terciptanya nilai-nilai tersebut, barat kerap memposisikan diri sebagai pihak yang paling benar. Seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat ketika melakukan operasi militer terhadap beberapa negara, seperti Irak dan Libya. Dimana menyebut operasi mliter ini sebagai upaya untuk menciptakan penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan. Ditengah kesombongan barat yang mengklaim diri sebagai pihak yang paling mengeri prinsip-prinsip universalisme. Barat juga kerap melihat pihak lain sebagai entittas yang tidak beradab. Disaat kesombongan barat ini, sebenarnya barat bukan merupakan satu-satunya pihak yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Islam sebagai agama yang kerap dipandang barat sebagai agama yang diasosiasikan dengan terorisme dan barbarisme, sebenarnya telah terlebih dahulu mengenalkan prinsip-prinsip kemanusiaan, jauh sebelum bangsa barat mengenal prinsip-prinsip ini. Dimana hal tersebut akan dijelaskan dalam beberapa poin berikut
Human Brotherhood
            Prinsip ini lebih menekankan pada rasa persaudaraan yang ada dimiliki oleh sesama manusia. Dalam hal ini Islam memandang bahwa semua manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai individu yang memiliki hal yang sama. Warna kulit, ras, etnis tidak menyebabkan satu manusia lebih mulia daripada manusia lain. Prinsip ini juga diterapkan ketika Rasulullah mengangkat Bilal bin Rabah sebagai muadzin pertama umat Islam, meskipun Bilal merupakan mantan budak berkulit hitam. Nabi Muhammad SAW juga menekankan bahwa tidak ada perbedaan antara orang Arab dan Non Arab. Meskipun begitu, Islam juga menetapkan bahwa yang membedakan manusia satu dengan lainya adalah Iman dan takwa kepada Tuhan yang maha esa. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Islam telah mengajarkan perbedaan status sosial karena perbedaan kulit. Dimana hal ini disebut dengan rasisme. Islam telah mengajarkan untuk tidak mempraktekkan Rasisme sejak kelahiran Islam di Mekkah yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
            Dalam konteks kotemporer, dunia terutama negara-negara Barat sedang berusaha untuk memerangi rasisme. Di Amerika Serikat, sebagai negara yang mengklaim sebagai penegak HAM internasional, bahkan masih bingung mencari cara untuk mengatasi masalah rasisme. Begitupun banyak negara barat lainya, masih memiliki masalah yang sama yaitu rasisme. Oleh karena itu ada kampanye untuk mengkampanyekan penghilangan diskriminasi atas ras. Dimana dalam hal ini PBB menyelenggarakan sebuah konferensi dengan tajuk “The World Conference Against Racism, Racial Discrimination, Xenophobia And Related Intolerance” di Durban, Afrika Selatan pada tahun 2001. Tentu saja dengan adanya konferensi ini telah menunjukkan bahwa dunia sedang menghadapi masalah berat, yang bernama rasisme. Di negara-negara Barat 1 abad lalu masih memandang rendah ras kulit hitam, Nabi Muhammad SAW dengan prinsip Islam telah memandang sama orang kulit hitam maupun orang Arab.
            Dengan begitu, maka dapat dipandang jelas bahwasanya, Islam telah mempromosikan kesetaraan hak manusia tidak memandang ras, etnis jauh sebelum bangsa barat mengenal dan menghormati nilai-nilai kesetaraan manusia. dalam konteks diplomasi, Islam memandang bahwa pihak yang bernegosiasi merupakan pihak yang tak perlu diremehkan hanya karena perbedaan kulit atas ras, melainkan murni dengan tujuan dakwah yang mana sesuai dengan prinsip kesetaraan.     
Honouring The Human Being And Preserving Human Rights
            Prinsip ini menekankan pada penghargaan Islam pada hak asasi manusia yang mana dilanggar martabatnya oleh kaum Jahiliyyah. Islam sendiri yang dibawa oleh Nabi Muhammad menghapuskan nilai-nilai yang melanggar hak dasar manusia. seperti ritual penguburan bayi wanita hidup-hidup oleh kaum Jahiliyyah,  mengenalkan sistem pembagian harta warisan, dimana wanita mendapat jatah warisan, melarang menjadikan wanita sebagai harta warisan dan melarang segala budaya Pagan yang merendahkan martabat wanita. Selain itu, Islam juga menghargai pemeluk agama lain, seperti ketika Nabi Muhammad SAW melindungi non muslim yang berada dalam naungan piagam Madinah. Tentu saja, hal semacam ini tidak ada di masa sebelum nabi, dimana kaum jahiliyyah menguasai tanah Arab.
            Dengan perlindungan terhadap hak-hak tersebut, maka sudah sepantasnya jika Islam disebut sebagai agama yang mendorong penghormatan terhadap hak hak asasi dasar manusia. dalam konteks modern, dunia juga sedang berusaha untuk melakukan emansipasi gender, dan penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Selain itu hak-hak seperti kebebasan beragama juga menjadi isu penting yang dibahas dalam nilai-nilai dalam setiap perbincangan di PBB. Sehingga, jauh sebelum negara-negara barat memperbolehkan wanita untuk dapat bersekolah. Islam terlebih dahulu memberikan akses yang sama terhadap wanita untuk menuntut ilmu. Karena dalam Quran juga dijelaskan bahwa tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan kecuali iman yang dimiliki. Tentu saja hal ini sangat revelan dengan isu kekinian dalam ilmu HI, dimana sebagian wanita menginginkan persamaan gender melalui feminism. Meskipun begitu, tetap terhdapat benteng pemisah antara nilai-nilai persamaan gender dalam Islam dan persamaan gender dalam budaya barat.

Comitment To The Rules of Ethnics And Morality
            Dalam hukum humaniter internasional, terdapat beberapa aturan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam berperang. Salah dua daripada banyak aturan tersebut adalah pertama memperlakukan tawanan dengan baik dan kedua tidak melakukan penyiksaan yang keterlaluan. Hukum ini muncul tidak lama setelah Eropa dilanda perang 30 tahun Katolik vs Protestan, yang kemudian di ikuti dengan kemunculan Nation State, perang dunia pertama, dan kedua. Yang kemudian hal ini mendorong bangsa barat untuk membuat peraturan yang mengatur bagaimana aturan dalam berperang.
            Pada prinsip Islam, sebenarnya sudah 1400 tahun lalu, Nabi Muhammad SAW memberikan rambu-rambu keteladanan dan aturan dalam berperang. Salah tiga daripada aturan tersebut adalah pertama, jangan mencincang dan bertindak berlebihan pada musuh, kedua, jangan bunuh anak-anak, orangtua dan wanita, ketiga jangan bunuh pendeta/rahib yang berada dalam kuil peribadatan. Tentu saja nilai-nilai ini dalam dunia kontemporer disetujui oleh semua pihak. Bahkan dapat dikatakan semua setuju dengan prinsip yang ada dalam Islam ini.


Justice and Equality in Rights and Duties
            Dalam Islam perlakuan terhadap muslim dan non muslim harus adil. Selama non muslim tidak menjadi musuh daripada umat Islam dan bersedia membayar pajak. Begitupun dengan perlindungan yang diberikan Islam kepada non muslim. Dalam Al-Quran dikatakan bahwasanya, apabila seorang manusia membunuh manusia lain bukan karena alasan yang dibenarkan maka seolah membunuh seluruh umat manusia. dalam perkataan yang ada dalam Quran tersebut tidak dikatan pemisahan antara muslim dan non muslim . Sehingga jelas bagaimana prinsip keadilan dalam Islam. Selain itu Islam juga berbicara tentang prinsip keadilan, dimana dalam Quran Allah berfirman, bahwa janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuat berlaku tidak adil, berlaku adil lah. Jelas hal ini mendukung bahwa prinsip Islam adalah keadilan baik kepada sesama muslim maupun kepada muslim dan bahkan kepada kaum yang dibenci.
            Dalam konteks kekinian, tentulah diketahui bahwa terdapat nilai-nilai kesetaraan yang dimandatkan kepada semua manusia di muka bumi. Dalam hal ini adalah kesetaaraan antara berbagai negara yang ada dalam PBB. Selain itu dalam konteks ASEAN, prinsip ini tentu saja sesuai mengingat terjadi kesetaraan yang ada diantara negara anggota. Lebih lanjut, dalam sister persidangan, hakim dituntut untuk berlaku adil, dan sebenarnya nilai tersebut sudah ada dalam Islam jauh sebelum pengaturan tersebut ada.

Mercy in Peace and War
            Prinsip ini lebih kepada manfaat Islam bagi dunia. Karena seperti yang diketahui bahwa Nabi Muhammad diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi alam semesta. Sehingga manfaat yang dibawa Islam tidak hanya dirasakan oleh Muslim saja melainkan juga non muslim. Dalam kondisi perang, koteks ini juga berlaku, dimana umat Islam diwajibkan untuk memberi pengampunan ketika pihak musuh sudah mau bertobat dan memeluk Islam. Hal ini dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika menaklukan Mekkah. Dimana beliau memberi pengampunan kepada semua musuh-musuhnya di Mekkah.
            Konsep yang diterapkan Nabi Muhammad SAW dalam konteks kekinian lebih dikenal dengan istilah Amnesty, yang mana hal ini banyak dipraktekkan oleh banyak pemimpin negara dari berbagai negara.