Oleh Bintar Mupiza
Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia
Asia Tenggara adalah sebuah kawasan yang telah
menjadi pusat persimpangan peradaban di Asia. Corak kebudayaan dari berbagai
kawasan dapat menyatu di kawasan ini dengan merata hampir di setiap negara yang
ada di dalamnya. Dalam mencari contoh daripada perkawinan lintas kebudayaan
adalah penggunaan Garuda di Indonesia dan Thailand sebagai lambang negara.
Garuda dikenal sebagai salah satu dewa dalam agama Hindu, sementara Indonesia
dan Thailand merupakan dua negara yang bukan merupakan mayoritas Hindu,
sebaliknya kedua negara adalah berpenduduk mayoritas Muslim (Indonesia) dan Budha (Thailand). Penggunaan Garuda merupakan
salah satu contoh dimana bukti bahwa negara di Asia Tenggara adalah tempat
persimpangan kebudayaan dan peradaban. Selain dari pengaruh Hindu yang berasal
dari tanah Hindustan (India) Asia
Tenggara juga mendapat pengaruh dari tanah Arab. Dimana lebih khususnya adalah
perkembangan Islam di kawasan ini.
Islam
sebagai agama di Asia Tenggara telah menggantikan dominasi agama Hindu dan
Budha di beberapa tempat, terutama di wilayah yang disebut sebagai Nusantara.
Yang mana mencangkup negara-negara yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei
Darussalam, Thailand Selatan dan Filipina Selatan. Dalam pengunaan yang lebih
lama, wilayah kerajaan Champa yang sekarang dikenal dengan wilayah Vietnam
bagian Selatan juga dimasukan dalam wilayah Nusantara. Pengkategorian
wilayah-wilayah diatas sebagai wilayah Nusantara juga bukan tidak ber-alasan.
Setidaknya terdapat dua alasan mengapa daerah diatas disebut dalam wilayah
Nusantara dan merasa bagian dari Nusantara. Pertama,
Terminologi Nusantara dicetuskan oleh Sri Mahapatih Gajah Mada, yang mana
berjanji akan menyatukan wilayah yang disebut sebagai Nusantara dalam sumpah
Palapa dibawah imperium Majapahit. Dalam sumpahnya, Gajah Mada berjanji akan
menyatukan beberapa wilayah yang mana dalam dunia sekarang dikenal sebagai
wilayah negara-negara yang telah disebutkan sebelumnya. Sehingga penggunaan
istilah Nusantara merujuk pada bekas wilayah yang dijanjikan oleh Gajah mada
dalam sumpah palapa. Dalam perkembanganya, wilayah-wilayah diatas juga mengakui
diri sebagai bagian dari pada Nusantara. Dalam konteks Malaysia, Brunei
Darussalam, istilah Nusantara juga disandingkan dengan istilah Alam Melayu,
yang mana juga merujuk pada hal yang sama. Kedua,
Nusantara juga disandingkan pada persamaan yang ada dalam kawasan ini,
yaitu persamaan akan budaya, dimana Nusantara merupakan wilayah yang merajut
persamaan dalam rumpun Melayu. Selain itu persamaan juga tidak sebatas budaya,
melainkan secara garis keturunan, penduduk di wilayah ini juga memiliki garis
keturunan yang sama. Disamping itu, penggunaan rumpun bahasa Austronesia juga
menjadi penguat garis kedekatan kawasan ini, yang membedakan dengan negara lain
di Asia Tenggara.
Persamaan
yang ada dalam khazanah Nusantara tersebut mendorong akses komunikasi,
perpindahan antar wilayah ke wilayah lain sebelum terbentuknya negara modern
menjadi lebih mudah. Sehingga mengherankan apabila terdapat corak Islam yang
sama antara negara-negara yang dinaungi dalam wilayah Nusantara. Dalam
perkembanganya, setelah muncul negara-negara modern paska kemerdekaan dari
penjajah asing, maka corak yang berkembang di masing-masing negara memiliki
perbedaan. Meskipun begitu dalam haluan besar keagamaan, masih memiliki corak
yang dapat disandingkan satu sama lain.
Kesatuan
wilayah yang mana telah terbentuk sebelum adanya negara modern dalam bingkai
Nusantara atau Alam Melayu telah mendorong adanya persamaan corak. Salah
satunya adalah pendidikan Islam yang ada di kawasan Nusantara. Dimana Alam
Melayu Nusantara memiliki corak yang cukup berbeda, yang memiliki ciri khas
dari pola pendidikan Islam di kawasan lain termasuk Timur Tengah. Adapun dalam
konteks modern, negara-negara yang dapat dikategorikan sebagai Alam Melayu
Nusantara adalah Indonesia, Thailand Selatan, Malaysia, Brunei Darussalam dan
Kamboja.
Pondok
Pesantren
Pondok
atau Pesantren merupakan ciri khas pendidikan Islam di wilayah Alam Melayu
Nusantara. Dimana praktik pendidikan semacam ini meniru gaya pendidikan pendeta
Hindu dan Budha di masa lampau yang disebut Pasraman
(Hindu) dan Mandala (Budha) (Merdeka, 2014). Yang mana pola
pendidikan ini kemudian diadopsi oleh para pendakwah Nusantara untuk
menghasilkan pendakwah yang mumpuni. Dalam praktiknya, pola pendidikan pondok
atau pesantren mengabungkan sistem asrama dan pendidikan Islam. Dimana murid di
didik oleh pengajar dalam suatu wilayah dengan pengajaran ilmu agama yang
terbagi dalam berbagai bidang agama, seperti fiqh, nahwu sorof dan lain
sebagainya. Pada hakikatnya corak pendidikan pondok atau pesantren dipraktikan
luas di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand bagian Selatan.
Yang mana telah banyak dibentuk sejak sebelum terbentuknya negara-negara modern
di kawasan.
Mahzab
Sunni Syafi’i
Dalam konteks kekinian,
telah banyak berdiri pondok pesantren yang bercorak dari berbagai firqah dalam
tubuh umat Islam yang mana bukan merupakan bagian daripada mahzab Sunni Syafi’i.
Namun pada hakikatnya pondok pesantren yang ada di negara-negara yaitu
Indonesia (Republika, 2016), Malaysia, Brunei
Darussalam, Thailand Selatan (Joseph Chinyong Liow, 2009) dan Kamboja masih di
dominasi oleh mahzab Sunni Syafi’i sebagai konsekuensi Sunni Syafi’i menjadi
mahzab mayoritas yang dianut bahkan mahzab resmi negara seperti di Brunei
Darussalam (Constitution of Brunei
Darussalam).
hal ini tidak terlepasnya pada fakta bahwa pendakwah Sunni Syafi’i yang
mengiatkan penyebaran agama di wilayah Nusantara. Dalam konteks kotemporer
bahkan pendakwah Sunni Syafi’i yang berasal dari Malaysia melakukan pembaharuan
terhadap muslim Champa yang menganut aliran sesat Islam bani yang tinggal di
perbatasan Kamboja dan Vietnam.
Adanya
mahzab Sunni Syafi’i sebagai penyebar Islam awal di Nusantara tidak terlepas
dari peran pedagang India.GWJ Drewes dalam buku “New Light on The Coming of Islam to Indonesia” menjabarkan bahwa
terdapat kaitan tentang asal Islam di Nusantara dengan Gujarat dan Malabar.
Lebih lanjut menurut pakar dari Universitas Leidin, Pijnapple, asal kedatangan
Islam di Nusantara berasal dari anak India, bukan dari Persia ataupun Arabia. Sehingga menurut
Pijnapple (Republika, 2016), orang-orang India
yang bermahzab Sunni Syafi’i tersebut menyebarkan Islam di Nusantara. Sehingga
tidak mengherankan apanila corak Islam di Nusantara kemudian berwarna Sunni
Syafi’i.
Dalam
perkembanganya, mahzab Sunni Syafi’i ini kemudian dijadikan landasan pengajaran
bagi Muslim yang tinggal di wilayah-wilayah yang ada di kawasan Alam Melayu
Nusantara. Dimana pondok pesantren merupakan institusi yang sangat berjasa
besar dalam melahirkan mubaligh baru dalam agama yang ada di kawasan.
Aksara
Arab Khas Nusantara
Sebagai sebuah
kawasan yang merupakan persimpangan berbagai kebudayaan dan peradaban, wilayah
Asia Tenggara, pada khususnya Nusantara juga memiliki pengembangan ilmu
pengetahuan termasuk sastra yang berbeda dengan kawasan asal agama Islam
berkembang. Penduduk Nusantara yang memiliki bahasa dan pengucapan lafal yang
berbeda dari orang Arab memiliki inisiasi untuk mengembangkan aksara adaptasi
dari alphabet Arab dengan dikondisikan dengan pengucapan dan cara bertutur
masyrakat Nusantara. Meskipun begitu penggunaan aksara ini diawali sejalan
dengan masuknya Islam di tanah Jawa (Noriah Mohamed, 2001). Hal ini yang
kemudian melandasi tercetusnya huruf Arab Khas Nusantara. Di wilayah Indonesia,
aksara adaptasi ini disebut sebagai Arab Pegon atau Arab Gundul. Sementara di
wilayah Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand Selatan aksara adaptasi ini
disebut sebagai huruf Jawi (Anna M. Gade, 2004). Penyebutan Jawi
oleh orang-orang di negeri Melayu memang masih diperdebatkan. Namun salah satu
teori menduga bahwa merujuk pada tanah Jawa atau Jawi. Mengingat salah satu
kemunculanya berasal dari tanah Jawa.
Dalam
tabel I.1 dan I.2 ditunjukan aksara Jawi atau Arab Pegon yang digunakan oleh
Muslim di Nusantara.
|
Tabel I.1 (Huruf Arab Adaptasi Nusantara)
|
|
Tabel I.2 (Komparasi Aksara Arab Nusantara dengan Arab dan
Persia)
|
Dalam
fungsinya, penggunaan Aksara ini terbagi menjadi dua, Pertama digunakan sebagai
aksara resmi dan bahasa pengajaran. Sementara Kedua, digunakan sebagai aksara
pendidikan dan penulisan Kitab. Dalam penggunaan sebagai aksara resmi, Brunei
Darussalam (Brunei Times, 2014), dan Thailand bagian
Selatan daerah Pattani menggunakan akasara ini sebagai aksara resmi selain
aksara romawi dan lokal (Tribunnews, 2015). Sementara itu di
Malaysia penggunaan aksara ini juga umum di tempat publik dan juga pendidikan
agama. Sementara di Indonesia, penggunaan Arab Jawi digunakan dalam lintas
pendidikan di pesantren (STAIN PEKALONGAN). Disamping itu
penggunaan Arab Jawi juga digunakan di Kamboja sebagai aksara penyampaian
materi agama di madrasah-madrasah, terutama di Kampong Cham, yang mana daerah
mayoritas Islam di Kamboja (Nu Online, 2008).
Pengunaan
aksara Arab Jawi merupakan hal yang wajar di kalangan pesantren dan sekolah
yang ada di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand bagian Selatan dan
Kamboja. Hal ini dapat dipahami karena aksara Arab Jawi sudah digunakan ketika
penyebaran Islam bermula di Nusantara. Selain itu adaptasi dari pelafalan orang
Nusantara juga menjadi alasan mendasar penggunaan aksara Jawi masih tetap
dipertahanankan. Lebih dari itu, aksara Jawi tetap dipertahankan dalam arus
modernisasi dikarenakan aksara ini mewakili identitas masyarakat Islam
Nusantara. Dibuktikan meskipun aksara Romawi telah digunakan atau dalam konteks
Thailand bagian Selatan dan Kamboja telah digantikan aksara Thai dan Khmer,
namun aksara ini tetap digunakan sebagai jati diri dan identitas daripada Islam
di Alam Melayu Nusantara. Corak pendidikan Islam di negara-negara yang telah
disebutkan diatas pada khususnya pengunaan Arab Jawi, juga merupakan bagian
dari ciri khas yang tidak dapat ditemukan di negara Islam manapun di dunia.
Karena penggunaan aksara Jawi hanya terdapat di kawasan ini.
Kesimpulan
Corak
pendidikan Islam di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand bagian
Selatan dan Kamboja dapat dibagi menjadi tiga ciri besar. Pertama adalah adanya
pondok Pesantren, yang mana merupakan institusi pendidikan khusus yang ada di
Alam Melayu Nusantara. Kedua, dalam proses pendidikanya, pondok Pesantren di
kawasan telah lama mengamalkan dan menggunakan mahzab Sunni Syafi’i sebagai
landasan pengajaran Islam di madrasah. Yang mana tidak heran apabila ditemukan
kesamaan praktik keagamaan dalam konteks fiqh ibadah dan amaliah di
negara-negara diatas. Ketiga, terlebih dari dua alasan itu, corak pendidikan
Islam di negara-negara diatas lebih menekankan pada pengembangan adaptasi
lokal. Yang mana salah satu hasilnya adalah penggunaan aksara Arab Jawi. Dimana
aksara ini digunakan dengan penyesuaian lidah dan pelafalan masyarakat Islam
Nusantara. Dan pada prakitknya penggunaan aksara ini lebih banyak digunakan
dalam pondok pesantren dan madrasah yang ada di negara-negara dalam cangkupan
pembahasan dalam tulisan ini.
Daftar
Pustaka
Anna M. Gade. (2004). Perfection Makes Practice:
Learning, Emotion, and the Recited Qurʼān in Indonesia. Hawaii: University
of Hawaii Press.
Brunei Times. (2014). An Origins of Jawis Origins
in Brunei Darussalam. Retrieved Desember 20, 2016, from
http://www.bt.com.bn/features/2007/09/16/an_overview_of_jawis_origins_in_brunei
Constitution of Brunei Darussalam. (n.d.). Retrieved
Desember 20, 2016, from
http://www.parliament.am/library/sahmanadrutyunner/bruneydarusalam.pdf
Joseph Chinyong Liow. (2009). Islam, Education,
and Reform in Southern Thailand: Tradition & Transformation.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Merdeka. (2014, Juni 23). Adopsi Hindu-Buddha,
Sunan Gresik mengganti mandala jadi pesantren. Retrieved Desember 20,
2016, from
https://www.merdeka.com/ramadan/adopsi-hindu-buddha-sunan-gresik-mengganti-mandala-jadi-pesantren.html
Noriah Mohamed. (2001). Aksara Jawi: Makna dan
Fungsi. Universiti Kebangsaan Malaysia, 01.
Nu Online. (2008, Maret 13). Kitab Ulama ’Jawi’
Jadi Rujukan Umat Islam Kamboja. Retrieved Desember 20, 2016, from
http://www.nu.or.id/post/read/11581/kitab-ulama-amp8217jawiamp8217-jadi-rujukan-umat-islam-kamboja
Republika. (2016, Juni 06). Mengapa Umat Islam
Indonesia Bermazhab Syafi'i? Ini Jawabannya. Retrieved Desember 20, 2016,
from
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/16/06/02/o84jwk320-mengapa-umat-islam-indonesia-bermazhab-syafii-ini-jawabannya
STAIN PEKALONGAN. (n.d.). Retrieved from
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/581/6/12.%20BAB%20I.pdf
Tribunnews. (2015, Agustus 25). Memahami Aksara
Jawi Rasa Thailand. Retrieved Desember 20, 2016, from
http://surabaya.tribunnews.com/2015/08/23/memahami-bahasa-jawi-rasa-thailand