Selasa, 17 Januari 2017

PERSAMAAN CORAK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA, MALAYSIA, THAILAND SELATAN, BRUNEI DARUSSALAM DAN KAMBOJA



 Oleh Bintar Mupiza
Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia

Asia Tenggara adalah sebuah kawasan yang telah menjadi pusat persimpangan peradaban di Asia. Corak kebudayaan dari berbagai kawasan dapat menyatu di kawasan ini dengan merata hampir di setiap negara yang ada di dalamnya. Dalam mencari contoh daripada perkawinan lintas kebudayaan adalah penggunaan Garuda di Indonesia dan Thailand sebagai lambang negara. Garuda dikenal sebagai salah satu dewa dalam agama Hindu, sementara Indonesia dan Thailand merupakan dua negara yang bukan merupakan mayoritas Hindu, sebaliknya kedua negara adalah berpenduduk mayoritas Muslim (Indonesia) dan Budha (Thailand). Penggunaan Garuda merupakan salah satu contoh dimana bukti bahwa negara di Asia Tenggara adalah tempat persimpangan kebudayaan dan peradaban. Selain dari pengaruh Hindu yang berasal dari tanah Hindustan (India) Asia Tenggara juga mendapat pengaruh dari tanah Arab. Dimana lebih khususnya adalah perkembangan Islam di kawasan ini.
            Islam sebagai agama di Asia Tenggara telah menggantikan dominasi agama Hindu dan Budha di beberapa tempat, terutama di wilayah yang disebut sebagai Nusantara. Yang mana mencangkup negara-negara yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand Selatan dan Filipina Selatan. Dalam pengunaan yang lebih lama, wilayah kerajaan Champa yang sekarang dikenal dengan wilayah Vietnam bagian Selatan juga dimasukan dalam wilayah Nusantara. Pengkategorian wilayah-wilayah diatas sebagai wilayah Nusantara juga bukan tidak ber-alasan. Setidaknya terdapat dua alasan mengapa daerah diatas disebut dalam wilayah Nusantara dan merasa bagian dari Nusantara. Pertama, Terminologi Nusantara dicetuskan oleh Sri Mahapatih Gajah Mada, yang mana berjanji akan menyatukan wilayah yang disebut sebagai Nusantara dalam sumpah Palapa dibawah imperium Majapahit. Dalam sumpahnya, Gajah Mada berjanji akan menyatukan beberapa wilayah yang mana dalam dunia sekarang dikenal sebagai wilayah negara-negara yang telah disebutkan sebelumnya. Sehingga penggunaan istilah Nusantara merujuk pada bekas wilayah yang dijanjikan oleh Gajah mada dalam sumpah palapa. Dalam perkembanganya, wilayah-wilayah diatas juga mengakui diri sebagai bagian dari pada Nusantara. Dalam konteks Malaysia, Brunei Darussalam, istilah Nusantara juga disandingkan dengan istilah Alam Melayu, yang mana juga merujuk pada hal yang sama. Kedua, Nusantara juga disandingkan pada persamaan yang ada dalam kawasan ini, yaitu persamaan akan budaya, dimana Nusantara merupakan wilayah yang merajut persamaan dalam rumpun Melayu. Selain itu persamaan juga tidak sebatas budaya, melainkan secara garis keturunan, penduduk di wilayah ini juga memiliki garis keturunan yang sama. Disamping itu, penggunaan rumpun bahasa Austronesia juga menjadi penguat garis kedekatan kawasan ini, yang membedakan dengan negara lain di Asia Tenggara.
            Persamaan yang ada dalam khazanah Nusantara tersebut mendorong akses komunikasi, perpindahan antar wilayah ke wilayah lain sebelum terbentuknya negara modern menjadi lebih mudah. Sehingga mengherankan apabila terdapat corak Islam yang sama antara negara-negara yang dinaungi dalam wilayah Nusantara. Dalam perkembanganya, setelah muncul negara-negara modern paska kemerdekaan dari penjajah asing, maka corak yang berkembang di masing-masing negara memiliki perbedaan. Meskipun begitu dalam haluan besar keagamaan, masih memiliki corak yang dapat disandingkan satu sama lain.
            Kesatuan wilayah yang mana telah terbentuk sebelum adanya negara modern dalam bingkai Nusantara atau Alam Melayu telah mendorong adanya persamaan corak. Salah satunya adalah pendidikan Islam yang ada di kawasan Nusantara. Dimana Alam Melayu Nusantara memiliki corak yang cukup berbeda, yang memiliki ciri khas dari pola pendidikan Islam di kawasan lain termasuk Timur Tengah. Adapun dalam konteks modern, negara-negara yang dapat dikategorikan sebagai Alam Melayu Nusantara adalah Indonesia, Thailand Selatan, Malaysia, Brunei Darussalam dan Kamboja.
Pondok Pesantren
            Pondok atau Pesantren merupakan ciri khas pendidikan Islam di wilayah Alam Melayu Nusantara. Dimana praktik pendidikan semacam ini meniru gaya pendidikan pendeta Hindu dan Budha di masa lampau yang disebut Pasraman (Hindu) dan Mandala (Budha) (Merdeka, 2014). Yang mana pola pendidikan ini kemudian diadopsi oleh para pendakwah Nusantara untuk menghasilkan pendakwah yang mumpuni. Dalam praktiknya, pola pendidikan pondok atau pesantren mengabungkan sistem asrama dan pendidikan Islam. Dimana murid di didik oleh pengajar dalam suatu wilayah dengan pengajaran ilmu agama yang terbagi dalam berbagai bidang agama, seperti fiqh, nahwu sorof dan lain sebagainya. Pada hakikatnya corak pendidikan pondok atau pesantren dipraktikan luas di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand bagian Selatan. Yang mana telah banyak dibentuk sejak sebelum terbentuknya negara-negara modern di kawasan.
Mahzab Sunni Syafi’i
            Dalam konteks kekinian, telah banyak berdiri pondok pesantren yang bercorak dari berbagai firqah dalam tubuh umat Islam yang mana bukan merupakan bagian daripada mahzab Sunni Syafi’i. Namun pada hakikatnya pondok pesantren yang ada di negara-negara yaitu Indonesia (Republika, 2016), Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand Selatan (Joseph Chinyong Liow, 2009) dan Kamboja masih di dominasi oleh mahzab Sunni Syafi’i sebagai konsekuensi Sunni Syafi’i menjadi mahzab mayoritas yang dianut bahkan mahzab resmi negara seperti di Brunei Darussalam (Constitution of Brunei Darussalam). hal ini tidak terlepasnya pada fakta bahwa pendakwah Sunni Syafi’i yang mengiatkan penyebaran agama di wilayah Nusantara. Dalam konteks kotemporer bahkan pendakwah Sunni Syafi’i yang berasal dari Malaysia melakukan pembaharuan terhadap muslim Champa yang menganut aliran sesat Islam bani yang tinggal di perbatasan Kamboja dan Vietnam.
            Adanya mahzab Sunni Syafi’i sebagai penyebar Islam awal di Nusantara tidak terlepas dari peran pedagang India.GWJ Drewes dalam buku “New Light on The Coming of Islam to Indonesia” menjabarkan bahwa terdapat kaitan tentang asal Islam di Nusantara dengan Gujarat dan Malabar. Lebih lanjut menurut pakar dari Universitas Leidin, Pijnapple, asal kedatangan Islam di Nusantara berasal dari anak India, bukan  dari Persia ataupun Arabia. Sehingga menurut Pijnapple (Republika, 2016), orang-orang India yang bermahzab Sunni Syafi’i tersebut menyebarkan Islam di Nusantara. Sehingga tidak mengherankan apanila corak Islam di Nusantara kemudian berwarna Sunni Syafi’i.
            Dalam perkembanganya, mahzab Sunni Syafi’i ini kemudian dijadikan landasan pengajaran bagi Muslim yang tinggal di wilayah-wilayah yang ada di kawasan Alam Melayu Nusantara. Dimana pondok pesantren merupakan institusi yang sangat berjasa besar dalam melahirkan mubaligh baru dalam agama yang ada di kawasan.

Aksara Arab Khas Nusantara
            Sebagai sebuah kawasan yang merupakan persimpangan berbagai kebudayaan dan peradaban, wilayah Asia Tenggara, pada khususnya Nusantara juga memiliki pengembangan ilmu pengetahuan termasuk sastra yang berbeda dengan kawasan asal agama Islam berkembang. Penduduk Nusantara yang memiliki bahasa dan pengucapan lafal yang berbeda dari orang Arab memiliki inisiasi untuk mengembangkan aksara adaptasi dari alphabet Arab dengan dikondisikan dengan pengucapan dan cara bertutur masyrakat Nusantara. Meskipun begitu penggunaan aksara ini diawali sejalan dengan masuknya Islam di tanah Jawa (Noriah Mohamed, 2001). Hal ini yang kemudian melandasi tercetusnya huruf Arab Khas Nusantara. Di wilayah Indonesia, aksara adaptasi ini disebut sebagai Arab Pegon atau Arab Gundul. Sementara di wilayah Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand Selatan aksara adaptasi ini disebut sebagai huruf Jawi (Anna M. Gade, 2004). Penyebutan Jawi oleh orang-orang di negeri Melayu memang masih diperdebatkan. Namun salah satu teori menduga bahwa merujuk pada tanah Jawa atau Jawi. Mengingat salah satu kemunculanya berasal dari tanah Jawa.
            Dalam tabel I.1 dan I.2 ditunjukan aksara Jawi atau Arab Pegon yang digunakan oleh Muslim di Nusantara.
Tabel I.1 (Huruf Arab Adaptasi Nusantara)
Tabel I.2 (Komparasi Aksara Arab Nusantara dengan Arab dan Persia)

            Dalam fungsinya, penggunaan Aksara ini terbagi menjadi dua, Pertama digunakan sebagai aksara resmi dan bahasa pengajaran. Sementara Kedua, digunakan sebagai aksara pendidikan dan penulisan Kitab. Dalam penggunaan sebagai aksara resmi, Brunei Darussalam (Brunei Times, 2014), dan Thailand bagian Selatan daerah Pattani menggunakan akasara ini sebagai aksara resmi selain aksara romawi dan lokal (Tribunnews, 2015). Sementara itu di Malaysia penggunaan aksara ini juga umum di tempat publik dan juga pendidikan agama. Sementara di Indonesia, penggunaan Arab Jawi digunakan dalam lintas pendidikan di pesantren (STAIN PEKALONGAN). Disamping itu penggunaan Arab Jawi juga digunakan di Kamboja sebagai aksara penyampaian materi agama di madrasah-madrasah, terutama di Kampong Cham, yang mana daerah mayoritas Islam di Kamboja (Nu Online, 2008).
            Pengunaan aksara Arab Jawi merupakan hal yang wajar di kalangan pesantren dan sekolah yang ada di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand bagian Selatan dan Kamboja. Hal ini dapat dipahami karena aksara Arab Jawi sudah digunakan ketika penyebaran Islam bermula di Nusantara. Selain itu adaptasi dari pelafalan orang Nusantara juga menjadi alasan mendasar penggunaan aksara Jawi masih tetap dipertahanankan. Lebih dari itu, aksara Jawi tetap dipertahankan dalam arus modernisasi dikarenakan aksara ini mewakili identitas masyarakat Islam Nusantara. Dibuktikan meskipun aksara Romawi telah digunakan atau dalam konteks Thailand bagian Selatan dan Kamboja telah digantikan aksara Thai dan Khmer, namun aksara ini tetap digunakan sebagai jati diri dan identitas daripada Islam di Alam Melayu Nusantara. Corak pendidikan Islam di negara-negara yang telah disebutkan diatas pada khususnya pengunaan Arab Jawi, juga merupakan bagian dari ciri khas yang tidak dapat ditemukan di negara Islam manapun di dunia. Karena penggunaan aksara Jawi hanya terdapat di kawasan ini.
Kesimpulan
            Corak pendidikan Islam di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand bagian Selatan dan Kamboja dapat dibagi menjadi tiga ciri besar. Pertama adalah adanya pondok Pesantren, yang mana merupakan institusi pendidikan khusus yang ada di Alam Melayu Nusantara. Kedua, dalam proses pendidikanya, pondok Pesantren di kawasan telah lama mengamalkan dan menggunakan mahzab Sunni Syafi’i sebagai landasan pengajaran Islam di madrasah. Yang mana tidak heran apabila ditemukan kesamaan praktik keagamaan dalam konteks fiqh ibadah dan amaliah di negara-negara diatas. Ketiga, terlebih dari dua alasan itu, corak pendidikan Islam di negara-negara diatas lebih menekankan pada pengembangan adaptasi lokal. Yang mana salah satu hasilnya adalah penggunaan aksara Arab Jawi. Dimana aksara ini digunakan dengan penyesuaian lidah dan pelafalan masyarakat Islam Nusantara. Dan pada prakitknya penggunaan aksara ini lebih banyak digunakan dalam pondok pesantren dan madrasah yang ada di negara-negara dalam cangkupan pembahasan dalam tulisan ini.

 

Daftar Pustaka
Anna M. Gade. (2004). Perfection Makes Practice: Learning, Emotion, and the Recited Qurʼān in Indonesia. Hawaii: University of Hawaii Press.
Brunei Times. (2014). An Origins of Jawis Origins in Brunei Darussalam. Retrieved Desember 20, 2016, from http://www.bt.com.bn/features/2007/09/16/an_overview_of_jawis_origins_in_brunei
Constitution of Brunei Darussalam. (n.d.). Retrieved Desember 20, 2016, from http://www.parliament.am/library/sahmanadrutyunner/bruneydarusalam.pdf
Joseph Chinyong Liow. (2009). Islam, Education, and Reform in Southern Thailand: Tradition & Transformation. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Merdeka. (2014, Juni 23). Adopsi Hindu-Buddha, Sunan Gresik mengganti mandala jadi pesantren. Retrieved Desember 20, 2016, from https://www.merdeka.com/ramadan/adopsi-hindu-buddha-sunan-gresik-mengganti-mandala-jadi-pesantren.html
Noriah Mohamed. (2001). Aksara Jawi: Makna dan Fungsi. Universiti Kebangsaan Malaysia, 01.
Nu Online. (2008, Maret 13). Kitab Ulama ’Jawi’ Jadi Rujukan Umat Islam Kamboja. Retrieved Desember 20, 2016, from http://www.nu.or.id/post/read/11581/kitab-ulama-amp8217jawiamp8217-jadi-rujukan-umat-islam-kamboja
Republika. (2016, Juni 06). Mengapa Umat Islam Indonesia Bermazhab Syafi'i? Ini Jawabannya. Retrieved Desember 20, 2016, from http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/16/06/02/o84jwk320-mengapa-umat-islam-indonesia-bermazhab-syafii-ini-jawabannya
STAIN PEKALONGAN. (n.d.). Retrieved from http://elc.stain-pekalongan.ac.id/581/6/12.%20BAB%20I.pdf
Tribunnews. (2015, Agustus 25). Memahami Aksara Jawi Rasa Thailand. Retrieved Desember 20, 2016, from http://surabaya.tribunnews.com/2015/08/23/memahami-bahasa-jawi-rasa-thailand

0 komentar:

Posting Komentar