Abstrak
Secara politik, kawasan Timur
Tengah berada dalam dua kubu berlawanan. Kubu Arab Saudi yang didukung oleh
negara-negara dan pemerintah Sunni. Sementara kubu kedua dipimpin oleh Iran
yang di ikuti oleh segelintir negara, tokoh oposisi, dan organisasi politik
bersenjata. Rivalitas dua kubu juga mengambarkan persaingan antara Arab Saudi
dan Iran di kawasan ini. Tak jarang kedua negara berkonfrontasi secara
langsung. Namun pola persaingan kedua negara banyak terjadi di negara ketiga,
dimana kedua negara berusaha untuk memperluas pengaruhnya. Meskipun demikian,
terdapat satu negara muslim netral yang tidak memihak pada salah satu kubu.
Kesultanan Oman dalam setiap kebijakan luar negerinya selalu berusaha untuk
netral dalam menyikapi persaingan Arab Saudi dan Iran. Sultan Qaboos sebagai
pemimpin Oman juga tak pernah membuat kebijakan luar negeri yang bersifat High Politics. Pehamaman agama di Oman
telah membuat pengaruh yang signifikan terhadap keputusan Sultan Qaboos dalam
menentukan kebijakan politik luar negeri. Sehingga Oman tetap menjadi negara
netral dan tak terkena dampak persaingan Arab Saudi dan Iran di Timur Tengah.
Kata-kata
kunci : Arab Saudi, Iran, Sunni, Syiah, Oman Foreign
Policy
Pendahuluan
Setelah terjadinya revolusi Islam
Iran tahun 1979, terjadi pergantian kekuasaan sekaligus sistem di negara Iran.
Pergantian kekuasaan dari tangan kaum sekuler ke tangan ulama Syiah telah
menjadi turning point (Gambrell J. , 2016) yang mana tidak
hanya berpengaruh terhadap politik dalam negeri melainkan politik di Timur
Tengah. Iran sebelum revolusi merupakan sekutu dekat negara-negara barat
termasuk Amerika Serikat (Katzman, 2016. ) dan juga negara-negara
Arab di kawasan teluk. Sokongan yang diberikan tak hanya terbatas pada aspek
keamanan. Namun negara-negara Barat juga terbukti membantu Iran dalam
mengembangkan nuklir menjadi pembangkit listrik alternatif. Hingga kemudian
program ini berhenti setelah terjadinya revolusi.
Terjadinya revolusi telah membawa
perubahan peta politik di kawasan Timur Tengah. Sebelum terjadinya revolusi,
kawasan Timur Tengah hanya menghadapi rivalitas yang muncul dari kaum ideologi
kiri (sosialis-komunis). Yang mana berusaha untuk melakukan pemberontakan
terhadap pemerintahan yang ada. Di lain sisi, Agresi militer Uni Soviet juga
menambah ancaman terhadap kawasan ini. Secara politik negara-negara di Teluk
termasuk Iran (kecuali Irak dan Suriah) pada masa tersebut secara politik
berafiliasi dengan Amerika Serikat. Namun setelah terjadinya revolusi Islam
Iran 1979, terjadi perubahan mendasar.
Revolusi Islam yang dipimpin oleh
Ruhulloh Khomeini telah membawa negara Iran menjadi negara Islam yang menganut
mahzab Syiah Imam Dua Belas. Munculnya Iran sebagai negara agama “Syiah” telah
mendorong kekhawatiran negara teluk lainya. Arab Saudi sebagai negara Sunni
Wahabi merupakan salah satu negara yang paling cemas terkait perkembangan Iran
menjadi negara berpaham Syiah. Negara yang dulu menjadi salah satu mitra
terbaik, kini berubah menjadi salah satu negara yang dianggap rival yang selalu
dicurigai.
Kekhawatiran Arab Saudi tidak hanya
berhenti pada 10 tahun pertama berdirinya Republik Islam Iran. Melainkan terus
berlanjut hingga sekarang. Arab Saudi memandang Iran sebagai rival yang mana
pengaruhnya telah meluas hingga Lebanon. Sementara Iran juga memandang Arab
Saudi sebagai rival yang memimpin koalisi militer negara-negara yang mayoritas
berpenduduk Sunni.
Persaingan keduanya seakan telah
membuat dua blok besar. Blok pertama adalah negara-negara Arab yang mengekor
kepada Arab Saudi. Dan kedua, kelompok pemberontak dan militan yang menyokong
Iran. Ditengah persaingan antara dua blok besar di Timur Tengah. Terdapat
negara di Timur Tengah yang menunjukkan sikap netralnya. Kesultanan Oman
merupakan satu-satunya negara muslim di Timur Tengah yang bersikap netral
menyikapi persaingan Kerajaan Arab Saudi dan Republik Islam Iran di kawasan.
Netralnya Oman dalam menyikapi persaingan dua negara rival di Timur Tengah
telah memantik pertanyaan. Mengapa Kebijakan Politik Luar Negeri Oman di bawah
Sultan Qaboos tetap netral menyikapi persaingan Iran dan Saudi?.
Persaingan
Iran – Arab Saudi di Timur Tengah
Dinamika hubungan diplomatik antara
Iran dan Arab Saudi menunjukkan perubahan yang
signifikan setelah terjadinya revolusi Islam Iran 1979. Pada Iran
berubah menjadi sebuah Republik Islam yang berhaluan Syiah, dibawah pimpinan
Ayatullah Khomeini. Raja Khalid (penguasa Saudi) mengirimkan ucapan selamat yang
menyerukan solidaritas umat Islam bisa menjadi jembatan bagi hubungan dua
negara (Hussein, 2000). Sambutan yang baik
dari penguasa Saudi menunjukkan adanya niatan baik untuk menjalin hubungan
dengan Iran. Meskipun begitu, pengaruh revolusi Islam Iran yang luas, tidak
hanya menginspirasi beberapa pihak untuk mendukung Iran. Namun ada upaya
pemerintah Iran untuk mengekspor revolusi
Islam Iran ke negara lainya, termasuk Arab Saudi (Schwanitz). Hal tersebut
merupakan salah satu alasan Arab Saudi ingin menjalin hubungan yang baik dengan
Iran. Karena bukan tidak mungkin pengaruh Revolusi Islam Iran dapat menjangkau
wilayah Arab Saudi bagian selatan yang mayoritas Syiah.
Kekhawatiran Arab Saudi juga bukan
tak berdasar. Hal ini karena pernyataan Khomeini dalam beberapa kesempatan yang
mengatakan bahwa Islam dan Monarki adalah hal yang asing dalam Islam (Schwanitz). Hal asing yang
dimaksud merujuk pada sistem monarki yang tak diajarkan oleh nabi. Lebih
lanjut, Khomeini juga menyebut muslim Arab Saudi sebagai American Islam. Penyebutan ini berdasar pada hubungan mesra rezim
Saudi dan Amerika Serikat.
Wahabi
- Syiah
Menurut Furtig sikap Ayatullah
Khomeini tak jauh dari sikap sebagian rakyat Iran yang menggambarkan Arab Saudi
sebagai penganut Wahabi. Dan wahabi dianggap sebagai sekte yang tersesat (Schwanitz). Ayatullah Montazeri
yang dianggap sebagai calon pengganti Khomeini menganggap bahwa Wahabi
merupakan sekte menyimpang, yang mendorong muslim untuk berperang satu sama
lain. Dia menambahkan bahwa wahabi adalah sekte yang tidak berpedoman baik pada
Quran ataupun Islam. Dan Wahabi dianggap upaya untuk menhapuskan Islam dalam
sejarah. Oleh karena itu Syiah dan Sunni harus menolak keberadaan mereka
(wahabi) (Schwanitz).
Dari penyataan petinggi Iran,
menunjukkan bahwa ketidaksukaan terhadap Arab Saudi lebih termotivasi karena dua
hal. Pertama karena Arab Saudi dianggap sebagai monarki, yang mana tak
merupakan hal yang asing dalam Islam. Kedua karena Arab Saudi dianggap sebagai
sekte sesat (Wahabi) yang tak berpedoman pada Islam dan Quran. Ketiga karena
Arab Saudi merupakan sekutu dekat Amerika Serikat. Sehingga dengan adanya
ketidaksukaan ini, membuat hubungan kedua negara mengalami pasang surut. Dan
seiring waktu, menjadikan dua negara sebagai Rival di kawasan Timur Tengah dan
lebih khusunya di kawasan Teluk.
Kerusuhan
Bahrain 2011
Kerusuhan di Bahran dapat menjadi
pemicu meluasnya persaingan Arab Saudi dan Iran di kawasan. Sejalan dengan
adanya Arab Spring yang menumbangkan rezim-rezim diktator di Timur Tengah.
Kerajaan Bahrain juga mendapat dampak dari Arab Spring. Bahrain yang merupakan
sebuah negara yang dikontrol oleh keluarga kerajaan yang beragama Islam Sunni.
Sementara mayoritas rakyat Bahrain merupakan penganut Syiah Imam Dua Belas.
Ketika rakyat yang berhaluan Syiah
turun ke jalan untuk menuntut keluarga kerajaan untuk mundur dari pemerintahan.
Arab Saudi sebagai sekutu keluarga kerajaan Bahrain mengirimkan 1000 tentara
beserta Tank tempur ke Bahrain (Wegerhoff, 2015). Motif yang
dilakukan Arab Saudi dalam mengirimkan tentara ke Bahrain adalah untuk
melindungi tahkta keluarga Sunni dari pengkianat Syiah (Wegerhoff,
2015).
Intervensi Arab Saudi di Bahrain
dikecam keras oleh Iran (Detiknews, 2011). Reaksi oleh Iran
mendapat tanggapan yang serius dari keluarga Kerajaan Bahrain. Dengan memanggil
duta besar Bahrain di Iran (Al-Jazeera, 2016). Hal tersebut
dilakukan sebagai protes keras Manama terhadap intervensi Tehran. Bahkan setelah Iran mengumumkan kecaman
terhadap intervensi Arab Saudi. Negara-negara Arab mengadakan pertemuan untuk
membahas intervensi Iran.
Dari kerusuhan di Bahrain yang
menyerukan rezim Sunni untuk mundur dari takhta, tidak hanya di dorong oleh
pengaruh Arab Spring. Melainkan dorongan dari beberapa Ulama Syiah Bahrain yang
menentang kerajaan Bahrain. Di lain sisi, keluarga Bahrain bertindak keras
dengan menaham beberapa Ulama Syiah yang menyerukan perlawanan.
Dari kerusuhan yang terjadi di
Bahrain, tidak dapat hanya dilihat sebagai masalah politik dalam negeri.
Melainkan sudah di dorong oleh sentiment sektarian, Sunni dan Syiah. Hal
tersebut ditunjukkan dengan adanya intervensi militer oleh Arab Saudi di
Bahrain untuk menekan demonstran di Manama. Alasan yang digunakan oleh Arab
Saudi yaitu untuk menangkap pengkhianat Syiah. Sementara Iran sebagai negara
Syiah, mendukung perlawanan rakyat Bahrain yang Syiah untuk menuntut rezim
Bahrain mundur. Dari kasus Bahrain dapat dilihat betapa besar rivalitas dua negara,
Arab Saudi dan Iran.
Konflik
Suriah dan Yaman
Persaingan Iran
dan Arab Saudi sangat terlihat pada konflik yang terjadi di Suriah dan Yaman.
Kedua pihak memiliki posisi silang menyikapi konflik di Suriah dan Yaman. Pada
konflik Yaman, Iran mendukung secara politk dan militer kepada kelompok
pemberontak Al-Houthi untuk menggunlingkan presiden Yaman yang sah, yaitu Ali
Mansur Hadi. Kelompok Houthi merupakan kelompok pemberontak yang berhaluan
Syiah. Oleh karena persamaan tersebut, Iran mendukung penuh Houthi. Sementara
itu, Arab Saudi menunjukkan dukungan terhadap pemerintah sah Yaman, yaitu kubu
presiden Ali Mansur Hadi. Dukungan Arab Saudi yaitu dengan menyediakan tempat
bagi presiden Mansur Hadi untuk mendirikan pemerintahan pengasingan. Lebih
jauh, Arab Saudi sampai melakukan operasi militer di Yaman untuk merebut Yaman
dari penguasaan kelompok Houthi.
Pada
konflik Suriah, persaingan Arab Saudi dan Iran juga terlihat sangat menojol.
Kerajaan Arab Saudi menginginkan penguasa Suriah yang resmi, Bashar Assad untuk
mundur dari jabatanya. Sementara Iran menolak terjadinya revolusi rakyat dalam
menggulingkan Bashar Assad. Arab
Saudi dengan jelas menginginkan Bashar Assad untuk mundur dari jabatanya. Tidak
hanya upaya diplomasi yang dilakukan oleh Saudi dalam rangka menumbangkan
Bashar Assad. Melainkan juga mendukung secara penuh kelompok pemberontak Sunni
baik secara persenjataan maupun politik. Sementara itu, pihak Iran mendukung
penuh Bashar Assad. Hal ini dikarenakan Suriah merupakan sekutu strategis Iran
di Timur Tengah. Selain itu, Bashar Assad juga merupakan penganut Syiah.
Sehingga Iran gigih dalam mempertahankan rezim Bashar Assad.
Keterlibatan
Arab Saudi dan Iran dalam konflik Yaman dan Suriah merupakan bukti dari
rivalitas kedua negara di kawasan Timur Tengah. Yaman dan Suriah sebagai pihak
ketiga dijadikan tempat kedua negara dalam mendapatkan pengaruh.
Koalisi
Islam “Sunni”
Pada 15 Desember 2015, Arab Saudi
menginisiasi pembentukan koalisi negara Islam. Koalisi ini secara resmi bernama
Islamic Military Alliance to Fight
Terrorism (IMAFT). Pembentukan koalisi militer ini bertujuan untuk melawan
apa yang disebut gerakan terorisme oleh Arab Saudi. Koalisi ini berhasil
menghimpun 36 negara.
List
Negara Anggota Koalisi Islam (Anonymous)
|
Bahrain
|
Bangladesh
|
Benin
|
Chad
|
Comoros
|
Pantai
Gading
|
Djibouti
|
Mesir
|
Gabon
|
Guinea
|
Jordania
|
Kuwait
|
Lebanon
|
Libya
|
Malaysia
|
Maladewa
|
Mali
|
Mauritania
|
Maroko
|
Niger
|
Nigeria
|
Pakistan
|
Otoritas
Palestina
|
Qatar
|
Arab
Saudi
|
Senengal
|
Sierra
Leone
|
Somalia
|
Sudan
|
Togo
|
Tunisia
|
Turki
|
Uni
Emirat Arab
|
Yaman
(pengasingan)
|
Pakistan
|
Uniknya dalam anggota koalisi
diatas tidak terdapat negara dengan pemerintahan “Syiah” yang bergabung.
Padahal nama dari persekutuan ini adalah koalisi Islam. Secara tidak langsung
dengan pembentukan kolisi Islam “Sunni”. Dibanding sebuah koalisi Islam.
Masuknya pemberontak Al-Houthi kedalam salah satu target mungkin dapat
dijadikan alasan mengapa negara syiah, utamanya Iran menolak untuk bergabung.
Dengan pembentukan koalisi ini menunjukkan kepemimpinan Arab Saudi atas kawasan
Timur Tengah bahkan meluas hingga kawasan Afrika Barat dan Tengah.
Irak sebagai sebuah negara yang
dikontrol oleh Syiah juga menolak untuk bergabung dengan koalisi ini. Bahkan
salah satu anggota parlemen Irak komisi
pertahanan mengatakan. Bahwa koalisi bentukan Saudi merupakan koalisi sektarian (Euronews, 16). Yang mana merujuk
pada Sunni. Sehingga terlihat jelas bahwa pembentukan koalisi ini lebih di
dorong pada sentiment rivalitas Sunni Arab Saudi dan Syiah Iran di kawasan
Timur Tengah.
Eksekusi
Al-Nimr
Pada awal tahun
2016, pemerintah Arab Saudi memutuskan untuk mengeksekusi mati Al-Nimr, salah
satu tokoh oposisi dan ulama Syiah di Arab Saudi. Al-Nimr menghabiskan sebagian
hidunya untuk belajar dan tinggal di Iran. Sehingga banyak terpengaruh oleh
ideologi Iran. Al-Nimr juga kerap dituding sebagai boneka Iran di Arab Saudi (Al-Monitor, 17).
Eksekusi
terhadap Al-Nimr telah mendapat reaksi luas dari rakyat Iran. Begitupun reaksi
dating dari pemimpin agung Iran. Ayatullah khamenei mengecam keras keputusan
Arab Saudi ini. Aksi protes berakhir
dengan insiden pembakaran kantor duta besar Arab Saudi di Iran. Pemerintah Arab
Saudi menuding bahwa otoritas Iran sengaja membiarkan peristiwa pembakaran.
Yang mana kemudian Arab Saudi memutuskan untuk menarik duta besar, serta
memutuskan hubungan dengan Iran. Dan member waktu 48 jam bagi diplomat Iran
untuk meninggalkan Iran.
Dengan
adanya reaksi keras dari Iran serta reaksi balas dari Arab Saudi yang juga
keras menunjukan bahwa kedua negara memiliki rivalitas yang tinggi diantara
kedua negara. Beberapa peristiwa juga menunjukkan bahwa persaingan antara Arab
Saudi dan Iran di dorong oleh sentimen perbedaan Mahzab Islam. Dan juga
diketahui pula kedua negara tersebut mengadopsi Islam sebagai filosofi Islam.
Dimana Arab Saudi dengan Sunni “Wahabi” dan Iran dengan Syiah Imam Dua Belas.
Politik
Luar Negeri Kesultanan Oman Masa Sultan Qaboos
Kesultanan Oman
merupakan sebuah negara berdaulat yang terletak di kawasan Timur Tengah. Secara
geografis wilayah Oman merupakan bagian dari jazirah Arabia, serta berbatasan
langsung dengan Samudra Hindia. Pemerintahan Oman dipimpin oleh seorang Sultan.
Yang memegang kekuasaan absolut terhadap segala urusan kerajaan. Suksesi di
kesultanan Oman berada penuh di tangan Sultan. Hal ini yang membedakan dengan
monarki lain di Timur Tengah.
Dalam
sejarah Kesultanan Oman, terjadi masa perubahan dimana Oman membuka diri terhadap
kerjasama internasional. Masa ini disebut sebagai perubahan Oman menjadi negara
lebih terbuka. Perubahan yang terjadi di Oman tak terlepas dari peran Sultan
Qaboos. Yang kini menjabat sebagai Sultan Oman.
Sultan Qaboos bin Said Al-Busaidi menjabat sebagai
Sultan Oman sejak 23 Juli 1970 (CIA). Naik
takhtanya Sultan Qaboos menggantikan kepemimpinan ayahnya. Pada tahun tersebut
Oman juga tengah melakukan modernisasi di berbagai bidang baik secara ekonomi
dan militer. Sebelumnya Kesultanan Oman dikenal sebagai negara yang tertutup
dari dunia luar (Kechician). Kepemimpinan Sultan Qaboos merupakan fase
yang penting setelah terjadinya masa transisi. Karena Kesultanan Oman mulai
terbuka dan menjadi bagian dari masyarakat internasional.
Sejak dipimpin oleh Sultan Qaboos,
Oman menjalankan Prinsip politik luar negeri yang menolak untuk melakukan
intervensi terhadap urusan domestik negara lain (Kechician). Prinsip ini telah
menjadi landasan dasar bagi kebijakan luar negeri Oman di bawah Sultan Qaboos.
Dengan menempatkan Oman sebagai negara yang menolak intervensi, maka jelas
posisi Oman netral di Timur Tengah.
Sikap netral Oman ditunjukkan
ketika Iran melakukan pendudukan terhadap dua pulau milik Uni Emirat Arab pada
tahun 1971. Yang mana Oman tak mempermasalahkan hal itu. Justru dengan adanya
peristiwa ini menyebabkan hubungan diplomatik Iran dan Oman semakin dekat.
Sultan Qaboos melihat pencaplokan wilayah UEA oleh Iran bukan sebagai ancaman.
Melainkan sebagai momen untuk membicarakan batas wilayah perbatasan. Sehingga
tercapailah perjanjian yang membahas wilayah perbatasan Oman dan Iran. Lebih
lanjut, hubungan kedua negara semakin membaik. Dimana Iran memberikan bantuan
kepada Oman untuk melawan kelompok pemberontak komunis, Dhuhar.
Meskipun hubungan dengan Iran
semakin dekat. Namun Oman tak begitu saja melupakan negara-negara Arab. Sikap netral Oman tercermin dengan bergabung
ke dalam Liga Negara Arab pada tahun 1971. Tahun dimana Iran melakukan
pendudukan terhadap dua pulau milik Uni Emirat Arab (Kechician). Kedekatan Oman dan
Iran juga tak begitu berpengaruh terhadap hubungan dengan negara-negara Arab.
Selain diterimanya Oman sebagai negara LNA, Oman juga semakin dekat dengan
negara teluk lainya pada periode tahun 1976-1980 (Kechician). Selain itu, ketika
terjadinya perjanjian damai antara Mesir dan Israel pada tahun 1978. Telah
membuat banyak negara teluk memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir. Karena
Mesir telah mengakui Israel sebagai sebuah negara berdaulat. Dalam menyikapi
hal ini, Oman merupakan salah satu dari tiga negara negara Arab yang tak ikut
memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun
Oman berhubungan dekat dengan negara-negara Arab lainya, tapi ketika menghadapi
kasus tertentu (seperti Camp David). Oman tak mengikuti reaksi yang sama dari
kebanyakan negara Arab.
Kebijakan politik luar negeri Oman
yang netral tetap berjalan setelah naiknya Ayatollah Khumaini sebagai pemimpin
Iran. Sultan Qaboos memilih untuk tetap menjalin hubungan baik dengan Iran.
Bentuk konkret dari kebijakan Sultan Qaboos adalah mengusulkan $100 juta untuk
melindungi Selat Hormuz yang memisahkan Iran dan negara-negara Arab agar
terjauh dari konflik. Meskipun begitu, ide yang menengahi dua kepentingan besar
ini tidak dihiraukan oleh negara-negara arab seperti Arab Saudi dan Bahrain.
Seperti yang dibahas pada pembahasan sebelumnya, persaingan Arab Saudi dan Iran
sudah dimulai sejak revolusi Islam Iran, yang di dorong oleh persaingan
kepentingan.
Selain itu, dalam menyikapi perang
Irak – Iran, Oman memilih untuk tidak berpihak. Di kala negara-negara Arab
Sunni mendukung Irak melawan Iran. Kebijakan politik luar negeri Oman tetap
pada porosnya yaitu poros netral (Kechician).
Dalam persaingan Arab Saudi dan
Iran di tahun 2000-an, Oman dibawah kepemimpinan Sultan Qaboos tetap menjadi
negara netral. Seperti dalam menyikapi pembentukan koalisi negara Islam “Sunni”
bentukan Arab Saudi yang dikecam oleh Iran dan Irak. Oman memilih untuk tak
bergabung di dalamnya. Selain itu, Oman juga tak terlibat dalam perang di Yaman
dan Suriah. Sementara hampir semua negara Arab terlibat dalam perang di dua
negara tersebut. Hal ini menunjukkan konsistensi Oman dalam menjadi negara
netral ditengah persaingan Iran dan Arab Saudi.
Ibadi
Sebagai Mahzab Resmi Oman
Kesultanan Oman
merupakan sebuah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam mahzab Ibadi (CIA F. ). Mahzab ini berbeda
dari dua mayoritas mahzab yang dianut oleh umat Islam di dunia, yang mana
secara garis besar terbagi menjadi dua. Yaitu Sunni dan Syiah. Kesultanan Oman
menjadi satu-satunya negara yang menjadikan Ibadi sebagai mahzab resmi di
dunia.
Secara garis besar mahzab ini
tak mempermasalahkan soal perbedaan mahzab. Karena Ibadi percaya bahwa yang
berhak menentukan benar tidaknya suatu ajaran dalam Islam adalah Tuhan.
Sehingga dalam praktiknya, muslim Ibadi lebih toleran kepada penganut mahzab
lainya seperti Sunni dan Syiah.
Sunni
– Syiah di Oman
Sunni dan Syiah
dapat hidup berdampingan di Kesultanan Oman. Hal ini tidak terlepas dari Ibadi
sebagai mahzab mayoritas umat Islam di Oman. Sebagaimana yang diketahui, bahwa
Ibadi menolak penghakiman terhadap kelompok mahzab lain. Karena hanya Ibadi
percaya bahwa tuhan yang berhak menentukanya.
Fenomena
toleransi di Oman tentu saja berbanding terbalik dengan negara-negara Sunni dan
Syiah. Di Arab Saudi, pemerintah melakukan diskriminasi terhadap kaum Syiah di
Saudi Selatan. Bahkan sampai mengeksekusi ulama Syiah Al-Nimr. Sebaliknya di
Iran, rezim Syiah yang ada di Iran menekan minoritas Sunni (Germany,
2016).
Sentimen kepada mahzab minoritas masih sering ditemukan di negara-negara yang
mana mahzab tertentu memiliki posisi yang kuat. Kehadiran Ibadi dapat menjadi
mahzab alternatif yang dapat digunakan dalam mengatasi permusuhan yang terjadi
antara Sunni dan Syiah.
Pengaruh
Islam Ibadi dalam Kebijakan Politik Luar Negeri
Seperti yang
dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa persaingan antara Arab Saudi dan
Iran di dorong oleh sentiment mahzab. Contoh konkret dimana sentimen mahzab
berperan dapat ditemukan dalam kasus Bahrain, Yaman dan Suriah. Arab Saudi yang
menjadi pemimpin Sunni dan Iran sebagai pemimpin kelompok Syiah saling berebut
kekuasaan dan pengaruh di Timur Tengah. Dari
seluruh negara di Timur Tengah, mahzab penguasa berpengaruh besar dalam
penentuan kebijkan politik luar negeri. Sehingga negara-negara Timur Tengah
yang terbagi dalam kelompok Sunni dan Syiah cenderung condong kepada salah
satunya. Ibadi sebagai mahzab resmi Oman telah berpengaruh dalam penentuan
kebijakan luar negeri Oman. Tokoh Sultan Qaboos sebagai penganut ibadi taat
telah mengikuti teologi Ibadi yang menyatakan bahwa hanya tuhanlah yang dapat
menjadi hakim tentang perbedaan dalam mahzab Islam. Hal ini diperkuat oleh
Kechianni dalam “A Unique Foreign Policy
Produces a Key Player in Middle Eastern and Global Diplomacy” dia
menyatakan bahwa netralitas kebijakan politik luar negeri Oman di dorong oleh
praktik Islam Ibadi (Kechician).
Dalam
pidato kenegaraan pada tahun 1994, Sultan Qaboos menekankan kepada rakyat Oman
untuk mengikuti nilai-nilai Islam Ibadi yang terjauh dari sikap fanatik dan
lebih toleran terhadap mahzab Islam lainya (Kechician). Dari kutipan pidato
Sultan Qaboos terlihat bahwa kebijakan politik luar negeri Oman yang netral tak
terlepas dari mahzab Ibadi yang mengajrkan toleransi pada mahzab lainya. Pada
praktiknya, toleransi terhadap mahzab lain tak hanya terjadi dalam domestik Oman.
Melainkan juga diterapkan pada level International. Dalam hal ini, Oman
menjadikan Ibadi sebagai World View terhadap setiap kebijakan yang diambil.
Menyoal
rivalitas Saudi Arabia dan Iran sebagai representasi persaingan Sunni dan Syiah
di Timur Tengah. Kebijakan Oman yang netral menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
yang besar dari Mahzab Ibadi. Hal ini sebagai konsekuensi dijadikanya Ibadi
sebagai mahzab resmi dan juga pemahaman Sultan Qaboos yang kuat terhadap mahzab
Ibadi.
Penutup
Persaingan antara
Kerajaan Arab Saudi dan Republik Islam Iran telah berpengaruh besar dalam
kondisi politik di Timur Tengah. Dampak yang terjadi akibat persaingan tersebut
terdapat di beberapa negara. Bahkan kedua negara sampai terlibat dalam proxy war di Suriah dan Yaman. Selain itu, Arab Saudi menjadi
pemimpin bagi beberapa negara di Timur Tengah. Hal yang sama juga berlaku pada
Iran. Dari pembahasan sebelumnya, dapat ditarik garis besar bahwa persaingan
yang terjadi antara Arab Saudi dan Iran di dorong akibat perbedaan aliran Islam
yang dianut oleh Arab Saudi yaitu Sunni Wahabi dan Syiah Iran. Dalam menyikapi
rivalitas Arab Saudi dan Iran, negara-negara di Timur Tengah terbagi menjadi
dua kubu. Yaitu kubu pendukung Arab Saudi dan Iran.
Sementara
itu, terdapat Kesultanan Oman yang mana tidak memihak kepada salah satu pihak.
Posisi Oman yang konsisten di dorong oleh mahzab resmi yang dianut, yaitu
Ibadi. Mahzab Ibadi percaya bahwa perbedaan antar mahzab biarlah Tuhan yang
menghakimi. Sementara manusia tidak boleh menghakiminya. Hal ini telah
mendorong toleransi beragama antar mahzab di Oman. Tidak hanya berlaku di level
domestik, pengaruh Ibadi juga mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Oman
untuk tetap netral ditengah persaingan Arab Saudi dan Iran di Timur Tengah. Sehingga
dapat dikatakan bahwa Ibadi berpengaruh besar dalam penentuan kebijakan politk
luar negeri Oman. Hal yang sama dengan motif yang dilakukan negara-negara Arab
Sunni dalam melawan Syiah Iran. Bahrain merupakan contoh dimana isu tersebut
dimainkan.
Daftar Pustaka
Al-Jazeera. (2016, February). Bahrain call back
Ambassador. Retrieved April Rabu, 2016, from Al-Jazeera News:
http://www.aljazeera.com/news/2015/07/bahrain-iran-150726050328684.html
Al-Monitor. (17,
February 2016). Turkey - Saudi Arabian Iran Strife Opportunities and
Perils. Retrieved April Rabu, 2016, from Al-Monitor News:
http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2016/01/turkey-saudi-arabia-iran-strife-opportunities-and-perils.html
Anonymous. (n.d.). BBC
News Service. Retrieved from
http://www.bbc.com/news/world-middle-east-35099318
CIA. (n.d.).
Retrieved April 14, 2016, from
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/print_mu.html
CIA, F. (n.d.).
Retrieved April 15, 2016, from https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/mu.html
Detiknews. (2011, 15
Februari). Iran Kecam Pengiriman Pasukan Arab Saudi ke Bahrain.
Retrieved April Rabu, 2016, from http://news.detik.com/berita/1591787/iran-kecam-pengiriman-pasukan-arab-saudi-ke-bahrain?nd992203605
Euronews. (16,
Desember). What do Russia and Iran think about Saudi Arabia's Coalition
Initiative. Retrieved April Rabu, 2016, from http://www.euronews.com/2015/12/15/what-do-russia-and-iran-think-about-saudi-arabia-s-coalition-initiative/
Gambrell, J. (2016,
February). A Timeline of Iran and Saudi Arabia’s Crumbling Relations.
Retrieved April Rabu, 2016, from Haaretz Israeli Agency News:
http://www.haaretz.com/middle-east-news/1.695442
Gambrell, J. (2016,
January 04). Haaretz. Retrieved April 13, 13, from
http://www.haaretz.com/middle-east-news/1.695442
Germany, D. (2016,
April 01). Bagaimana Nasib Minoritas Sunni di Iran? Retrieved April
15, 2016, from http://www.dw.com/id/bagaimana-nasib-minoritas-sunni-di-iran/a-18962977
Hussein, A. A.
(2000). So History Doesn’t Forget : Alliances Behaviour in Foreign Policy of
the Kindom of Saudi Arabia.
Katzman, K. ( 2016.
). Iran : Politics, Gulf Security, and U.S. Policy. Congressional Research
Sevice , 02.
Kechician, J. (n.d.).
Oman : A Unique Foreign Policy Produces a Key Player in Middle Eastern and
Global Diplomacy. Retrieved April 15, 2016, from http://www.rand.org/pubs/research_briefs/RB2501.html
News, A.-J. (2016,
February). Bahrain - Iran Relations. Retrieved April Rabu, 2016, from
http://www.aljazeera.com/news/2015/07/bahrain-iran-150726050328684.html
Schwanitz, W. G.
(n.d.). Iran’s Rivalry with Saudi Arabia : A Story of Conflict Between the
Guld Wars. 02.
Wegerhoff, C. (2015,
December). Kritik Atas Penjualan Tank Jerman ke Arab Saudi. Retrieved
April Rabu, 2016, from DW News:
http://www.dw.com/id/kritik-atas-penjualan-tank-jerman-ke-arab-saudi/a-15215250