Kamis, 16 Februari 2017

Kim Han-Sol Pangeran Muda Penantang Tahta Monarki Kim Jong-Un

Dunia pada bulan Februari 2017 digegerkan dengan kabar pembunuhan saudara tiri pemimpin Korea Utara yaitu Kim Jong-Nam di bandara KLIA Malaysia.

Dilansir dari Republika.co.id, dibunuhnya Kim Jong-Nam karena perintah dari adik tirinya sendiri yaitu penguasa Korea Utara sekarang, Kim Jong-Un merasa kehadiran Kim Jong-Nam dapat menganggu posisinya. Selain itu Nam juga dinilai sebagai individu yang "liberal" dibandingkan Kim Jong-UN yang tentu saja berseberangan dengan ideologi negara Korea Utara.

Sosok Kim Jong Nam awalnya dipersiapkan sebagai pemimpin agung Korea Utara. Namun setelah kepergok mengunjungi musuh Korea Utara yaitu Jepang, akhirnya Korea Utara membatalkan pemilihan Nam sebagai pemimpin Agung. Hingga kemudian "Kim Jong Un" terpilih sebagai pemimpin agung negara Komunis tersebut.



Kematian Kim Jong-Nam meninggalkan beberapa anak dan istri. Diantaranya adalah Kim Han-Sol. Han-Sol dapat dikatakan sebagai pangeran Korea Utara, karena masih merupakan keturunan keluarga Kim Il-Sung yaitu pendiri Korea Utara. Meskipun Korea Utara mengadopsi Komunisme sebagai ideologi Korea Utara dan menerapkan "Diktator Ploretariat" namun faktanya Korut dipimpin satu keluarga Dinasti Monarki karena kepemimpinan diturunkan berdasarkan garis keturunan.


Pangeran Kim Han-Sol sekarang tengah melanjutkan studi di Prancis, sebuah negara di benua Eropa. Nampaknya kematian ayahnya akan mendorong Han-Sol untuk melakukan balas dendam terhadap pamanya yaitu Kim Jong-Un. Layaknya Drama kolosal, Han-Sol akan menjadi pangeran yang menantang tahta Kim Jong-Un "Korea Utara".


Di usianya yang baru menginjak 18 tahun (2017 berumur 23 tahun), sang Pangeran dalam wawancara di sebuah media Finlandia pada tahun 2012 mengatakan bahwa Kim Jong-Un adalah seorang "Diktator". Tentu saja kehadiran Han-Sol juga merupakan ancaman bagi Korea Utara. Bahkan Independent menyebut bahwa Han-Son berkemungkinan besar muncul sebagai orang yang keras dalam mengkritik Kim Jong-Un sehingga membuat Han-Sol juga berkemungkinan besar menjadi target pembunuhan Kim Jong-Un. Oleh karena itu Prancis memerintahkan penjagaan ketat polisi kepada Pangeran Han-Sol.

Han-Sol yang sekarang berada di Prancis dan sedang menempuh pendidikan di Institut Politik Prancis (Sciences Po) juga harus berhati-hati, mengingat Ayahya telah berhasil dibunuh oleh Rezim dan tidak menutup kemungkinan Kim Jong-Un akan menargetkan nyawa Pangeran muda. Meningat Han-Sol dapat tumbuh menjadi pribadi kuat penentang rezim Monarki Kim Jong-Un.

Apakah pangeran muda dapat merebut tahta Korea Utara?







Rabu, 15 Februari 2017

Ini Alasan Anies-Sandi Bakal Menang Putaran Kedua Pilgub DKI Jakarta 2017



       



Hari ini (Rabu, 15 Februari 2017) Pilgub DKI Jakarta digelar dengan sukses. Meskipun hasil perhitungan KPU resmi belum diumumkan, namun hasil dari pemilihan Gubernur dapat diketahui melalui Quick Count beberapa lembaga survei. Hasil semua lembaga survei menempatkan pasangan Ahok-Djarot sebagai pasangan dengan suara paling unggul, disusul oleh pasangan Anies-Sandi dengan jarak presentase suara yang tipis, kemudian berada di posisi paling bawah adalah pasangan Agus-Sylvi. Hasil Quickcount dari beberapa lembaga survei dapat dilihat pada tabel dibawah :

No

Litbang Kompas
Charta Politika
LSI Denny JA
1.
Agus-Sylvi
17,38%
16,97%
16,87%
2.
Ahok-Djarot
42,88%
43,75%
43,22%
3.
Anies-Sandi
39,74%
39,28%
39,91%

Data masuk (100%)
Sumber : http://wartakota.tribunnews.com/2017/02/15/inilah-hasil-quick-count-pilkada-dki-dari-4-lembaga-survei-pukul-1600-wib



           Selain dari hasil Quick Count lembaga survei diatas juga terdapat lembaga survei lain yang telah merilis hasil QC, dimana juga menunjukan hasil yang tidak terpaut jauh dengan hasil diatas. Dimana menempatkan Ahok-Djarot diposisi pertama, Anies-Sandi di posisi kedua dan Agus-Sylvi diposisi terakhir. Seperti pengalaman pemilu sebelumnya dan berbagai pemilu di penjuru dunia, apabila lembaga survei mengadakan QC sesuai dengan standar ilmiah maka tidak ada keraguan bahwa hasil nyata tidak akan terpaut jauh dari hasil QC. Pada titik ini kita sepakat bahwa QC adalah gambaran hasil Pilgub resmi 2017.

Mengingat tidak ada kandidat Pilgub DKI Jakarta yang mampu mendapatkan suara 50% sebagai standar kemenangan, maka sudah jelas akan diadakan Pilgub Putaran Kedua. Melihat hasil QC diatas, tentu saja 2 pasangan gubernur yang lolos ke tahap berikutnya adalah Ahok-Djarot serta Anies-Sandi.
Lalu pertanyaanya, siapa yang berpeluang besar menjadi pemenang? Sebenarnya tidak terlalu sulit, Dengan melihat kemana arah larinya suara pemilih Agus-Sylvi yang berjumlah 16% dari total 100% kita dapat mengetahui siapa pemenang Pilgub Jakarta putaran kedua.

Mari kita analisa.

1. Suara Agus-Sylvi
Dalam berbagai survei lembaga diatas, Agus-Sylvi mendapatkan suara kisaran 16% - 17% dari total 100%. Tentu saja angka ini akan semakin sangat berguna bila berpindah ke dua pasangan yang akan melaju pada Pilgub DKI Jakarta putaran kedua. Mengingat pasangan ini  telah kalah telak, tentu saja suara sekitar 16% - 17% ini akan menjadi penentu siapa yang akan menjadi Gubernur Jakarta pada Pilgub Putaran Kedua. Kompsisi dari pendukung Agus-Sylvi secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga,
Pertama, Massa anti-Ahok yang mengikuti fatwa GNPF MUI untuk memilih pasangan diantara No 1 dan No 3
(http://m.rmoljakarta.com/news.php?id=34917).

Kedua Massa simpatisan Demokrat dan partai pengusung Agus-Sylvi
(http://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20161130002050-516-176186/mesin-politik-agus-sylvi-dinilai-paling-solid/).

Ketiga, Massa yang terjaring kampanye pasangan Agus-Sylvi seperti pemilih pemula
(http://nasional.kompas.com/read/2016/09/24/10115671/elektabilitas.agus-sylviana.dinilai.bakal.melesat.ini.alasannya)

 Lalu lari kemana Massa ini? Ahok atau Anies?

Jenis Massa pendukung Agus-Sylvi yang pertama, yaitu mereka yang anti Ahok tentu saja memiliki sentimen negatif kepada Ahok-Djarot, terkait posisi Ahok sebagai terdakwa kasus penghinaan Agama. Sehingga otomatis jenis pendukung Agus-Sylvi ini akan lari ke padangan Anies-Sandi

Jenis  kedua yaitu mereka yang loyalis kepada Partai pengusung Agus-Sylvi. Dimana terdapat 4 partai pendukung, yaitu Demokrat, PAN, PPP Kubu Romi dan PKB. Massa pendukung setia Demokrat berpotensi sangat besar mendukung Anies-Sandi. Hal ini tidak lain dan bukan karena tensi panas antara SBY dan penguasa yang baru terjadi sehari sebelum pemilihan Pilgub DKI Jakarta. Dimana SBY menuding ungkapan testimoni Antasari Azhar (calon anggota PDIP ) sebagai langkah politis di Pilgub DKI Jakarta 2017. Selain itu juga mengatakan bahwa Antasari Azhar membuat pernyataan demikian tak mungkin atas backingan dari penguasa. Tentu saja maksud SBY tersebut dapat diartikan langkah untuk menjegal Agus-Sylvi.
SBY dalam konferensi press juga menyatakan bahwa jangan bermain API . Dengan tensi yang tidak bagus antara SBY (Demokrat) dan Penguasa (PDIP) yang juga partai utama pendukung Ahok-Djarot, tentu saja Massa jenis kedua akan mendukung Anies-Sandi, sebagai jawaban dari lemparan API yang dilemparkan oleh "Penguasa" kepada Kubu Demokrat dan SBY.

Sementara itu, bagaimana suara PAN, PKB dan PPP? Sebagaimana kita ketahui PAN adalah anak tiri dari Ormas Muhammadiyah. Yang mana ormas Muhammadiyah juga menentang pemimpin non muslim dan juga menentang penghina agama. Seperti halnya mantan Keum PAN, yaitu Amin Rais yang sangat menentang Ahok. Maka, Suara PAN kemungkinan besar akan diberikan kepada Anies-Sandi. Lalu bagaimana PKB dan PPP? Sama seperti halnya PAN, yang merupakan anak tiri Muhammadiyah. PKB dan PPP juga merupakan anak tiri, tapi dari Ormas Islam yang berbeda, yaitu NU. PKB sebagai partai Nasionalis Religius (NU Liberal) sebelum kasus penistaan agama oleh Ahok selalu menjadi partai yang mencitrakan diri sebagai partai Gusdurian. Namun sikap Ahok belakangan yang juga dinilai menghina ketua umum PBNU membuat beberapa Gusdurian pun geram. Salah satunya Yenny Wahid yang juga mantan anggota PKB. Gambaran ketidaksetujuan Yenny Wahid sebagai seorang Gusdurian juga dapat menjadi gambaran bagaimana massa NU memandang Ahok, yang dinilai tidak sopan terhadap ulama. Sehingga pada titik ini saya berkeyakinan bahwa massa PKB akan beralih ke Anies-Sandi. Dengan catatan bisa saja PKB secara resmi beralih haluan mendukung Ahok-Djarot, mengingat PKB dan PDIP adalah koalisi di level Nasional. Namun sekali lagi lebih meyakini bahwa massa PKB akan mendukung Anies-Sandi.

Partai terakhir adalah PPP kubu Romi, tentu saja partai ini mengalihkan suara massa ke Anies Sandi. Mengingat kubu Ahok-Djarot didukung oleh Kubu PPP Djan Faridz. Jika Ahok-Djarot terpilih, maka juga menjadi ancaman tersendiri bagi PPP kubu Romi. Selain itu, massa PPP juga berpotensi besar menolak Ahok karena kasus dugaan penistaan agama serta sikap Ahok yang tidak sopan ke ulama PBNU (KH Maaruf Amin)

Jenis Massa terakhir adalah Massa Ketiga,  dimana massa ini didapatkan oleh Agus-Sylvi dari kampanye. Yang juga mencangkup beberapa komponen, yaitu mereka yang anti-gusur, kelompok Betawi (loyalis Sylvi). Kelompok masyarakat yang tertarik denga kampanye Agus-Sylvi yang anti pengusuran tentu saja akan menghindari Ahok dan memilih Anies. Sementara kelompok yang memilih pasangan ini karena terpengaruh pesona Betawi "Sylvi" memiliki potensi lari kedua pasangan yaitu Ahok dan Anies. Namun hal yang lebih penting adalah massa ketiga terpengaruh dengan pesona Agus-Sylvi, baik secara karakter maupun konten kampanye. Sehingga apabila Agus-Sylvi memutuskan untuk mendukung salah satu calon di Pilgub DKI 2017 putaran kedua, maka kemungkinan besar jenis massa ketiga akan mengikuti keputusan Agus-Sylvi. (Sepertinya dalam rangka balas dendam kepada Antasari dan PDIP, Agus-Sylvi akan mendukung Anies-Sandi di putaran kedua).


2. Suara Ahok Sudah Mentok

Pemilih yang memilih Ahok-Djarot adalah pemilih yang tidak memiliki keraguan, berbeda seperti halnya pemilih yang harus memilih Agus-Sylvi atau Anies-Sandi karena faktor primodal (agama). Sehingga suara yang didapatkan oleh Ahok-Djarot adalah suara maksimal yang bisa didapatkan oleh pasangan ini. Sementara itu, pasangan Anies-Sandi sebenarnya dapat mendulang suara lebih banyak. Namun karena terbagi kosentrasi pemilih Muslim ke Anies Sandi, menyebabkan jenis pemilih primodal terbelah. Dengan adanya Pilgub DKI Jakarta Putaran Kedua, maka memungkinan pemilih primodal untuk memilih Anies-Sandi (balik keatas, lihat jenis massa kesatu).


Kesimpulan

Selisih suara Ahok-Djarot dan Anies-Sandi hanya terhitung sebesar kisaran 2-3%. Hal ini tentu mudah dilampaui oleh Anies-Sandi jika dapat memanfaatkan suara pemilih Agus-Sylvi minimal 11% dari kisaran pendukung Agus-Sylvi yang berkisar 16%-17% dari total 100% suara. Berdasarkan analisa sebelumnya, saya berkeyakinan bahwa pendukung Agus-Sylvi akan beralih ke Anies-Sandi pada putaran kedua PILGUB DKI Jakarta. Sementara pasangan Ahok-Djarot tidak akan banyak mengalami penambahan suara mengingat tipe dari pendukung Anies-Sylvi yang telah dijelaskan pada analisa sebelumnya.

===============
Prediksi : Anies-Sandi menang Pilgub DKI Jakarta 2017 Putaran Kedua








Senin, 06 Februari 2017

Kebijakan Politik Luar Negeri Oman Dibawah Sultan Qaboos Ditengah Persaingan Iran dan Arab Saudi di Timur Tengah





Abstrak
Secara politik, kawasan Timur Tengah berada dalam dua kubu berlawanan. Kubu Arab Saudi yang didukung oleh negara-negara dan pemerintah Sunni. Sementara kubu kedua dipimpin oleh Iran yang di ikuti oleh segelintir negara, tokoh oposisi, dan organisasi politik bersenjata. Rivalitas dua kubu juga mengambarkan persaingan antara Arab Saudi dan Iran di kawasan ini. Tak jarang kedua negara berkonfrontasi secara langsung. Namun pola persaingan kedua negara banyak terjadi di negara ketiga, dimana kedua negara berusaha untuk memperluas pengaruhnya. Meskipun demikian, terdapat satu negara muslim netral yang tidak memihak pada salah satu kubu. Kesultanan Oman dalam setiap kebijakan luar negerinya selalu berusaha untuk netral dalam menyikapi persaingan Arab Saudi dan Iran. Sultan Qaboos sebagai pemimpin Oman juga tak pernah membuat kebijakan luar negeri yang bersifat High Politics. Pehamaman agama di Oman telah membuat pengaruh yang signifikan terhadap keputusan Sultan Qaboos dalam menentukan kebijakan politik luar negeri. Sehingga Oman tetap menjadi negara netral dan tak terkena dampak persaingan Arab Saudi dan Iran di Timur Tengah.
Kata-kata kunci : Arab Saudi, Iran, Sunni, Syiah, Oman Foreign Policy
Pendahuluan
Setelah terjadinya revolusi Islam Iran tahun 1979, terjadi pergantian kekuasaan sekaligus sistem di negara Iran. Pergantian kekuasaan dari tangan kaum sekuler ke tangan ulama Syiah telah menjadi turning point (Gambrell J. , 2016) yang mana tidak hanya berpengaruh terhadap politik dalam negeri melainkan politik di Timur Tengah. Iran sebelum revolusi merupakan sekutu dekat negara-negara barat termasuk Amerika Serikat (Katzman, 2016. ) dan juga negara-negara Arab di kawasan teluk. Sokongan yang diberikan tak hanya terbatas pada aspek keamanan. Namun negara-negara Barat juga terbukti membantu Iran dalam mengembangkan nuklir menjadi pembangkit listrik alternatif. Hingga kemudian program ini berhenti setelah terjadinya revolusi.
Terjadinya revolusi telah membawa perubahan peta politik di kawasan Timur Tengah. Sebelum terjadinya revolusi, kawasan Timur Tengah hanya menghadapi rivalitas yang muncul dari kaum ideologi kiri (sosialis-komunis). Yang mana berusaha untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang ada. Di lain sisi, Agresi militer Uni Soviet juga menambah ancaman terhadap kawasan ini. Secara politik negara-negara di Teluk termasuk Iran (kecuali Irak dan Suriah) pada masa tersebut secara politik berafiliasi dengan Amerika Serikat. Namun setelah terjadinya revolusi Islam Iran 1979, terjadi perubahan mendasar.
Revolusi Islam yang dipimpin oleh Ruhulloh Khomeini telah membawa negara Iran menjadi negara Islam yang menganut mahzab Syiah Imam Dua Belas. Munculnya Iran sebagai negara agama “Syiah” telah mendorong kekhawatiran negara teluk lainya. Arab Saudi sebagai negara Sunni Wahabi merupakan salah satu negara yang paling cemas terkait perkembangan Iran menjadi negara berpaham Syiah. Negara yang dulu menjadi salah satu mitra terbaik, kini berubah menjadi salah satu negara yang dianggap rival yang selalu dicurigai.
Kekhawatiran Arab Saudi tidak hanya berhenti pada 10 tahun pertama berdirinya Republik Islam Iran. Melainkan terus berlanjut hingga sekarang. Arab Saudi memandang Iran sebagai rival yang mana pengaruhnya telah meluas hingga Lebanon. Sementara Iran juga memandang Arab Saudi sebagai rival yang memimpin koalisi militer negara-negara yang mayoritas berpenduduk Sunni.
Persaingan keduanya seakan telah membuat dua blok besar. Blok pertama adalah negara-negara Arab yang mengekor kepada Arab Saudi. Dan kedua, kelompok pemberontak dan militan yang menyokong Iran. Ditengah persaingan antara dua blok besar di Timur Tengah. Terdapat negara di Timur Tengah yang menunjukkan sikap netralnya. Kesultanan Oman merupakan satu-satunya negara muslim di Timur Tengah yang bersikap netral menyikapi persaingan Kerajaan Arab Saudi dan Republik Islam Iran di kawasan. Netralnya Oman dalam menyikapi persaingan dua negara rival di Timur Tengah telah memantik pertanyaan. Mengapa Kebijakan Politik Luar Negeri Oman di bawah Sultan Qaboos tetap netral menyikapi persaingan Iran dan Saudi?.
Persaingan Iran – Arab Saudi di Timur Tengah
Dinamika hubungan diplomatik antara Iran dan Arab Saudi menunjukkan perubahan yang  signifikan setelah terjadinya revolusi Islam Iran 1979. Pada Iran berubah menjadi sebuah Republik Islam yang berhaluan Syiah, dibawah pimpinan Ayatullah Khomeini. Raja Khalid (penguasa Saudi) mengirimkan ucapan selamat yang menyerukan solidaritas umat Islam bisa menjadi jembatan bagi hubungan dua negara (Hussein, 2000). Sambutan yang baik dari penguasa Saudi menunjukkan adanya niatan baik untuk menjalin hubungan dengan Iran. Meskipun begitu, pengaruh revolusi Islam Iran yang luas, tidak hanya menginspirasi beberapa pihak untuk mendukung Iran. Namun ada upaya pemerintah Iran untuk mengekspor revolusi Islam Iran ke negara lainya, termasuk Arab Saudi (Schwanitz). Hal tersebut merupakan salah satu alasan Arab Saudi ingin menjalin hubungan yang baik dengan Iran. Karena bukan tidak mungkin pengaruh Revolusi Islam Iran dapat menjangkau wilayah Arab Saudi bagian selatan yang mayoritas Syiah.
Kekhawatiran Arab Saudi juga bukan tak berdasar. Hal ini karena pernyataan Khomeini dalam beberapa kesempatan yang mengatakan bahwa Islam dan Monarki adalah hal yang asing dalam Islam (Schwanitz). Hal asing yang dimaksud merujuk pada sistem monarki yang tak diajarkan oleh nabi. Lebih lanjut, Khomeini juga menyebut muslim Arab Saudi sebagai American Islam. Penyebutan ini berdasar pada hubungan mesra rezim Saudi dan Amerika Serikat.
Wahabi - Syiah
Menurut Furtig sikap Ayatullah Khomeini tak jauh dari sikap sebagian rakyat Iran yang menggambarkan Arab Saudi sebagai penganut Wahabi. Dan wahabi dianggap sebagai sekte yang tersesat (Schwanitz). Ayatullah Montazeri yang dianggap sebagai calon pengganti Khomeini menganggap bahwa Wahabi merupakan sekte menyimpang, yang mendorong muslim untuk berperang satu sama lain. Dia menambahkan bahwa wahabi adalah sekte yang tidak berpedoman baik pada Quran ataupun Islam. Dan Wahabi dianggap upaya untuk menhapuskan Islam dalam sejarah. Oleh karena itu Syiah dan Sunni harus menolak keberadaan mereka (wahabi) (Schwanitz).
Dari penyataan petinggi Iran, menunjukkan bahwa ketidaksukaan terhadap Arab Saudi lebih termotivasi karena dua hal. Pertama karena Arab Saudi dianggap sebagai monarki, yang mana tak merupakan hal yang asing dalam Islam. Kedua karena Arab Saudi dianggap sebagai sekte sesat (Wahabi) yang tak berpedoman pada Islam dan Quran. Ketiga karena Arab Saudi merupakan sekutu dekat Amerika Serikat. Sehingga dengan adanya ketidaksukaan ini, membuat hubungan kedua negara mengalami pasang surut. Dan seiring waktu, menjadikan dua negara sebagai Rival di kawasan Timur Tengah dan lebih khusunya di kawasan Teluk.
Kerusuhan Bahrain 2011
Kerusuhan di Bahran dapat menjadi pemicu meluasnya persaingan Arab Saudi dan Iran di kawasan. Sejalan dengan adanya Arab Spring yang menumbangkan rezim-rezim diktator di Timur Tengah. Kerajaan Bahrain juga mendapat dampak dari Arab Spring. Bahrain yang merupakan sebuah negara yang dikontrol oleh keluarga kerajaan yang beragama Islam Sunni. Sementara mayoritas rakyat Bahrain merupakan penganut Syiah Imam Dua Belas.
Ketika rakyat yang berhaluan Syiah turun ke jalan untuk menuntut keluarga kerajaan untuk mundur dari pemerintahan. Arab Saudi sebagai sekutu keluarga kerajaan Bahrain mengirimkan 1000 tentara beserta Tank tempur ke Bahrain (Wegerhoff, 2015). Motif yang dilakukan Arab Saudi dalam mengirimkan tentara ke Bahrain adalah untuk melindungi tahkta keluarga Sunni dari pengkianat Syiah (Wegerhoff, 2015).
Intervensi Arab Saudi di Bahrain dikecam keras oleh Iran (Detiknews, 2011). Reaksi oleh Iran mendapat tanggapan yang serius dari keluarga Kerajaan Bahrain. Dengan memanggil duta besar Bahrain di Iran (Al-Jazeera, 2016). Hal tersebut dilakukan sebagai protes keras Manama terhadap intervensi Tehran.  Bahkan setelah Iran mengumumkan kecaman terhadap intervensi Arab Saudi. Negara-negara Arab mengadakan pertemuan untuk membahas intervensi Iran.
Dari kerusuhan di Bahrain yang menyerukan rezim Sunni untuk mundur dari takhta, tidak hanya di dorong oleh pengaruh Arab Spring. Melainkan dorongan dari beberapa Ulama Syiah Bahrain yang menentang kerajaan Bahrain. Di lain sisi, keluarga Bahrain bertindak keras dengan menaham beberapa Ulama Syiah yang menyerukan perlawanan.
Dari kerusuhan yang terjadi di Bahrain, tidak dapat hanya dilihat sebagai masalah politik dalam negeri. Melainkan sudah di dorong oleh sentiment sektarian, Sunni dan Syiah. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya intervensi militer oleh Arab Saudi di Bahrain untuk menekan demonstran di Manama. Alasan yang digunakan oleh Arab Saudi yaitu untuk menangkap pengkhianat Syiah. Sementara Iran sebagai negara Syiah, mendukung perlawanan rakyat Bahrain yang Syiah untuk menuntut rezim Bahrain mundur. Dari kasus Bahrain dapat dilihat betapa besar rivalitas dua negara, Arab Saudi dan Iran.
Konflik Suriah dan Yaman
            Persaingan Iran dan Arab Saudi sangat terlihat pada konflik yang terjadi di Suriah dan Yaman. Kedua pihak memiliki posisi silang menyikapi konflik di Suriah dan Yaman. Pada konflik Yaman, Iran mendukung secara politk dan militer kepada kelompok pemberontak Al-Houthi untuk menggunlingkan presiden Yaman yang sah, yaitu Ali Mansur Hadi. Kelompok Houthi merupakan kelompok pemberontak yang berhaluan Syiah. Oleh karena persamaan tersebut, Iran mendukung penuh Houthi. Sementara itu, Arab Saudi menunjukkan dukungan terhadap pemerintah sah Yaman, yaitu kubu presiden Ali Mansur Hadi. Dukungan Arab Saudi yaitu dengan menyediakan tempat bagi presiden Mansur Hadi untuk mendirikan pemerintahan pengasingan. Lebih jauh, Arab Saudi sampai melakukan operasi militer di Yaman untuk merebut Yaman dari penguasaan kelompok Houthi.
            Pada konflik Suriah, persaingan Arab Saudi dan Iran juga terlihat sangat menojol. Kerajaan Arab Saudi menginginkan penguasa Suriah yang resmi, Bashar Assad untuk mundur dari jabatanya. Sementara Iran menolak terjadinya revolusi rakyat dalam menggulingkan Bashar Assad.       Arab Saudi dengan jelas menginginkan Bashar Assad untuk mundur dari jabatanya. Tidak hanya upaya diplomasi yang dilakukan oleh Saudi dalam rangka menumbangkan Bashar Assad. Melainkan juga mendukung secara penuh kelompok pemberontak Sunni baik secara persenjataan maupun politik. Sementara itu, pihak Iran mendukung penuh Bashar Assad. Hal ini dikarenakan Suriah merupakan sekutu strategis Iran di Timur Tengah. Selain itu, Bashar Assad juga merupakan penganut Syiah. Sehingga Iran gigih dalam mempertahankan rezim Bashar Assad.
            Keterlibatan Arab Saudi dan Iran dalam konflik Yaman dan Suriah merupakan bukti dari rivalitas kedua negara di kawasan Timur Tengah. Yaman dan Suriah sebagai pihak ketiga dijadikan tempat kedua negara dalam mendapatkan pengaruh.
Koalisi Islam “Sunni”
Pada 15 Desember 2015, Arab Saudi menginisiasi pembentukan koalisi negara Islam. Koalisi ini secara resmi bernama Islamic Military Alliance to Fight Terrorism (IMAFT). Pembentukan koalisi militer ini bertujuan untuk melawan apa yang disebut gerakan terorisme oleh Arab Saudi. Koalisi ini berhasil menghimpun 36 negara.
List Negara Anggota Koalisi Islam (Anonymous)
Bahrain
Bangladesh
Benin
Chad
Comoros
Pantai Gading
Djibouti
Mesir
Gabon
Guinea
Jordania
Kuwait
Lebanon
Libya
Malaysia
Maladewa
Mali
Mauritania
Maroko
Niger
Nigeria
Pakistan
Otoritas Palestina
Qatar
Arab Saudi
Senengal
Sierra Leone
Somalia
Sudan
Togo
Tunisia
Turki
Uni Emirat Arab
Yaman (pengasingan)
Pakistan

Uniknya dalam anggota koalisi diatas tidak terdapat negara dengan pemerintahan “Syiah” yang bergabung. Padahal nama dari persekutuan ini adalah koalisi Islam. Secara tidak langsung dengan pembentukan kolisi Islam “Sunni”. Dibanding sebuah koalisi Islam. Masuknya pemberontak Al-Houthi kedalam salah satu target mungkin dapat dijadikan alasan mengapa negara syiah, utamanya Iran menolak untuk bergabung. Dengan pembentukan koalisi ini menunjukkan kepemimpinan Arab Saudi atas kawasan Timur Tengah bahkan meluas hingga kawasan Afrika Barat dan Tengah.
Irak sebagai sebuah negara yang dikontrol oleh Syiah juga menolak untuk bergabung dengan koalisi ini. Bahkan salah satu anggota parlemen  Irak komisi pertahanan mengatakan. Bahwa koalisi bentukan Saudi merupakan koalisi sektarian (Euronews, 16). Yang mana merujuk pada Sunni. Sehingga terlihat jelas bahwa pembentukan koalisi ini lebih di dorong pada sentiment rivalitas Sunni Arab Saudi dan Syiah Iran di kawasan Timur Tengah.
Eksekusi Al-Nimr
            Pada awal tahun 2016, pemerintah Arab Saudi memutuskan untuk mengeksekusi mati Al-Nimr, salah satu tokoh oposisi dan ulama Syiah di Arab Saudi. Al-Nimr menghabiskan sebagian hidunya untuk belajar dan tinggal di Iran. Sehingga banyak terpengaruh oleh ideologi Iran. Al-Nimr juga kerap dituding sebagai boneka Iran di Arab Saudi[1] (Al-Monitor, 17).
            Eksekusi terhadap Al-Nimr telah mendapat reaksi luas dari rakyat Iran. Begitupun reaksi dating dari pemimpin agung Iran. Ayatullah khamenei mengecam keras keputusan Arab Saudi ini. Aksi protes  berakhir dengan insiden pembakaran kantor duta besar Arab Saudi di Iran. Pemerintah Arab Saudi menuding bahwa otoritas Iran sengaja membiarkan peristiwa pembakaran. Yang mana kemudian Arab Saudi memutuskan untuk menarik duta besar, serta memutuskan hubungan dengan Iran. Dan member waktu 48 jam bagi diplomat Iran untuk meninggalkan Iran.
            Dengan adanya reaksi keras dari Iran serta reaksi balas dari Arab Saudi yang juga keras menunjukan bahwa kedua negara memiliki rivalitas yang tinggi diantara kedua negara. Beberapa peristiwa juga menunjukkan bahwa persaingan antara Arab Saudi dan Iran di dorong oleh sentimen perbedaan Mahzab Islam. Dan juga diketahui pula kedua negara tersebut mengadopsi Islam sebagai filosofi Islam. Dimana Arab Saudi dengan Sunni “Wahabi” dan Iran dengan Syiah Imam Dua Belas.
Politik Luar Negeri Kesultanan Oman Masa Sultan Qaboos
            Kesultanan Oman merupakan sebuah negara berdaulat yang terletak di kawasan Timur Tengah. Secara geografis wilayah Oman merupakan bagian dari jazirah Arabia, serta berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Pemerintahan Oman dipimpin oleh seorang Sultan. Yang memegang kekuasaan absolut terhadap segala urusan kerajaan. Suksesi di kesultanan Oman berada penuh di tangan Sultan. Hal ini yang membedakan dengan monarki lain di Timur Tengah.
            Dalam sejarah Kesultanan Oman, terjadi masa perubahan dimana Oman membuka diri terhadap kerjasama internasional. Masa ini disebut sebagai perubahan Oman menjadi negara lebih terbuka. Perubahan yang terjadi di Oman tak terlepas dari peran Sultan Qaboos. Yang kini menjabat sebagai Sultan Oman.
Sultan  Qaboos bin Said Al-Busaidi menjabat sebagai Sultan Oman sejak 23 Juli 1970 (CIA)Naik takhtanya Sultan Qaboos menggantikan kepemimpinan ayahnya. Pada tahun tersebut Oman juga tengah melakukan modernisasi di berbagai bidang baik secara ekonomi dan militer. Sebelumnya Kesultanan Oman dikenal sebagai negara yang tertutup dari dunia luar (Kechician).      Kepemimpinan Sultan Qaboos merupakan fase yang penting setelah terjadinya masa transisi. Karena Kesultanan Oman mulai terbuka dan menjadi bagian dari masyarakat internasional.
Sejak dipimpin oleh Sultan Qaboos, Oman menjalankan Prinsip politik luar negeri yang menolak untuk melakukan intervensi terhadap urusan domestik negara lain (Kechician). Prinsip ini telah menjadi landasan dasar bagi kebijakan luar negeri Oman di bawah Sultan Qaboos. Dengan menempatkan Oman sebagai negara yang menolak intervensi, maka jelas posisi Oman netral di Timur Tengah.
Sikap netral Oman ditunjukkan ketika Iran melakukan pendudukan terhadap dua pulau milik Uni Emirat Arab pada tahun 1971. Yang mana Oman tak mempermasalahkan hal itu. Justru dengan adanya peristiwa ini menyebabkan hubungan diplomatik Iran dan Oman semakin dekat. Sultan Qaboos melihat pencaplokan wilayah UEA oleh Iran bukan sebagai ancaman. Melainkan sebagai momen untuk membicarakan batas wilayah perbatasan. Sehingga tercapailah perjanjian yang membahas wilayah perbatasan Oman dan Iran. Lebih lanjut, hubungan kedua negara semakin membaik. Dimana Iran memberikan bantuan kepada Oman untuk melawan kelompok pemberontak komunis, Dhuhar.
Meskipun hubungan dengan Iran semakin dekat. Namun Oman tak begitu saja melupakan negara-negara Arab.  Sikap netral Oman tercermin dengan bergabung ke dalam Liga Negara Arab pada tahun 1971. Tahun dimana Iran melakukan pendudukan terhadap dua pulau milik Uni Emirat Arab (Kechician). Kedekatan Oman dan Iran juga tak begitu berpengaruh terhadap hubungan dengan negara-negara Arab. Selain diterimanya Oman sebagai negara LNA, Oman juga semakin dekat dengan negara teluk lainya pada periode tahun 1976-1980 (Kechician). Selain itu, ketika terjadinya perjanjian damai antara Mesir dan Israel pada tahun 1978. Telah membuat banyak negara teluk memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir. Karena Mesir telah mengakui Israel sebagai sebuah negara berdaulat. Dalam menyikapi hal ini, Oman merupakan salah satu dari tiga negara negara Arab yang tak ikut memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Oman berhubungan dekat dengan negara-negara Arab lainya, tapi ketika menghadapi kasus tertentu (seperti Camp David). Oman tak mengikuti reaksi yang sama dari kebanyakan negara Arab.
Kebijakan politik luar negeri Oman yang netral tetap berjalan setelah naiknya Ayatollah Khumaini sebagai pemimpin Iran. Sultan Qaboos memilih untuk tetap menjalin hubungan baik dengan Iran. Bentuk konkret dari kebijakan Sultan Qaboos adalah mengusulkan $100 juta untuk melindungi Selat Hormuz yang memisahkan Iran dan negara-negara Arab agar terjauh dari konflik. Meskipun begitu, ide yang menengahi dua kepentingan besar ini tidak dihiraukan oleh negara-negara arab seperti Arab Saudi dan Bahrain. Seperti yang dibahas pada pembahasan sebelumnya, persaingan Arab Saudi dan Iran sudah dimulai sejak revolusi Islam Iran, yang di dorong oleh persaingan kepentingan.
Selain itu, dalam menyikapi perang Irak – Iran, Oman memilih untuk tidak berpihak. Di kala negara-negara Arab Sunni mendukung Irak melawan Iran. Kebijakan politik luar negeri Oman tetap pada porosnya yaitu poros netral (Kechician).      
Dalam persaingan Arab Saudi dan Iran di tahun 2000-an, Oman dibawah kepemimpinan Sultan Qaboos tetap menjadi negara netral. Seperti dalam menyikapi pembentukan koalisi negara Islam “Sunni” bentukan Arab Saudi yang dikecam oleh Iran dan Irak. Oman memilih untuk tak bergabung di dalamnya. Selain itu, Oman juga tak terlibat dalam perang di Yaman dan Suriah. Sementara hampir semua negara Arab terlibat dalam perang di dua negara tersebut. Hal ini menunjukkan konsistensi Oman dalam menjadi negara netral ditengah persaingan Iran dan Arab Saudi.
Ibadi Sebagai Mahzab Resmi Oman
            Kesultanan Oman merupakan sebuah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam mahzab Ibadi (CIA F. ). Mahzab ini berbeda dari dua mayoritas mahzab yang dianut oleh umat Islam di dunia, yang mana secara garis besar terbagi menjadi dua. Yaitu Sunni dan Syiah. Kesultanan Oman menjadi satu-satunya negara yang menjadikan Ibadi sebagai mahzab resmi di dunia.
            Secara garis besar mahzab ini tak mempermasalahkan soal perbedaan mahzab. Karena Ibadi percaya bahwa yang berhak menentukan benar tidaknya suatu ajaran dalam Islam adalah Tuhan. Sehingga dalam praktiknya, muslim Ibadi lebih toleran kepada penganut mahzab lainya seperti Sunni dan Syiah.

Sunni – Syiah di Oman
            Sunni dan Syiah dapat hidup berdampingan di Kesultanan Oman. Hal ini tidak terlepas dari Ibadi sebagai mahzab mayoritas umat Islam di Oman. Sebagaimana yang diketahui, bahwa Ibadi menolak penghakiman terhadap kelompok mahzab lain. Karena hanya Ibadi percaya bahwa tuhan yang berhak menentukanya.
            Fenomena toleransi di Oman tentu saja berbanding terbalik dengan negara-negara Sunni dan Syiah. Di Arab Saudi, pemerintah melakukan diskriminasi terhadap kaum Syiah di Saudi Selatan. Bahkan sampai mengeksekusi ulama Syiah Al-Nimr. Sebaliknya di Iran, rezim Syiah yang ada di Iran menekan minoritas Sunni (Germany, 2016). Sentimen kepada mahzab minoritas masih sering ditemukan di negara-negara yang mana mahzab tertentu memiliki posisi yang kuat. Kehadiran Ibadi dapat menjadi mahzab alternatif yang dapat digunakan dalam mengatasi permusuhan yang terjadi antara Sunni dan Syiah.     
Pengaruh Islam Ibadi dalam Kebijakan Politik Luar Negeri
            Seperti yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa persaingan antara Arab Saudi dan Iran di dorong oleh sentiment mahzab. Contoh konkret dimana sentimen mahzab berperan dapat ditemukan dalam kasus Bahrain, Yaman dan Suriah. Arab Saudi yang menjadi pemimpin Sunni dan Iran sebagai pemimpin kelompok Syiah saling berebut kekuasaan dan pengaruh di Timur Tengah.     Dari seluruh negara di Timur Tengah, mahzab penguasa berpengaruh besar dalam penentuan kebijkan politik luar negeri. Sehingga negara-negara Timur Tengah yang terbagi dalam kelompok Sunni dan Syiah cenderung condong kepada salah satunya. Ibadi sebagai mahzab resmi Oman telah berpengaruh dalam penentuan kebijakan luar negeri Oman. Tokoh Sultan Qaboos sebagai penganut ibadi taat telah mengikuti teologi Ibadi yang menyatakan bahwa hanya tuhanlah yang dapat menjadi hakim tentang perbedaan dalam mahzab Islam. Hal ini diperkuat oleh Kechianni dalam “A Unique Foreign Policy Produces a Key Player in Middle Eastern and Global Diplomacy” dia menyatakan bahwa netralitas kebijakan politik luar negeri Oman di dorong oleh praktik Islam Ibadi (Kechician).
            Dalam pidato kenegaraan pada tahun 1994, Sultan Qaboos menekankan kepada rakyat Oman untuk mengikuti nilai-nilai Islam Ibadi yang terjauh dari sikap fanatik dan lebih toleran terhadap mahzab Islam lainya (Kechician). Dari kutipan pidato Sultan Qaboos terlihat bahwa kebijakan politik luar negeri Oman yang netral tak terlepas dari mahzab Ibadi yang mengajrkan toleransi pada mahzab lainya. Pada praktiknya, toleransi terhadap mahzab lain tak hanya terjadi dalam domestik Oman. Melainkan juga diterapkan pada level International. Dalam hal ini, Oman menjadikan Ibadi sebagai World View terhadap setiap kebijakan yang diambil.
            Menyoal rivalitas Saudi Arabia dan Iran sebagai representasi persaingan Sunni dan Syiah di Timur Tengah. Kebijakan Oman yang netral menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang besar dari Mahzab Ibadi. Hal ini sebagai konsekuensi dijadikanya Ibadi sebagai mahzab resmi dan juga pemahaman Sultan Qaboos yang kuat terhadap mahzab Ibadi.

Penutup         
            Persaingan antara Kerajaan Arab Saudi dan Republik Islam Iran telah berpengaruh besar dalam kondisi politik di Timur Tengah. Dampak yang terjadi akibat persaingan tersebut terdapat di beberapa negara. Bahkan kedua negara sampai terlibat dalam proxy war di Suriah dan Yaman. Selain itu, Arab Saudi menjadi pemimpin bagi beberapa negara di Timur Tengah. Hal yang sama juga berlaku pada Iran. Dari pembahasan sebelumnya, dapat ditarik garis besar bahwa persaingan yang terjadi antara Arab Saudi dan Iran di dorong akibat perbedaan aliran Islam yang dianut oleh Arab Saudi yaitu Sunni Wahabi dan Syiah Iran. Dalam menyikapi rivalitas Arab Saudi dan Iran, negara-negara di Timur Tengah terbagi menjadi dua kubu. Yaitu kubu pendukung Arab Saudi dan Iran.
            Sementara itu, terdapat Kesultanan Oman yang mana tidak memihak kepada salah satu pihak. Posisi Oman yang konsisten di dorong oleh mahzab resmi yang dianut, yaitu Ibadi. Mahzab Ibadi percaya bahwa perbedaan antar mahzab biarlah Tuhan yang menghakimi. Sementara manusia tidak boleh menghakiminya. Hal ini telah mendorong toleransi beragama antar mahzab di Oman. Tidak hanya berlaku di level domestik, pengaruh Ibadi juga mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Oman untuk tetap netral ditengah persaingan Arab Saudi dan Iran di Timur Tengah. Sehingga dapat dikatakan bahwa Ibadi berpengaruh besar dalam penentuan kebijakan politk luar negeri Oman. Hal yang sama dengan motif yang dilakukan negara-negara Arab Sunni dalam melawan Syiah Iran. Bahrain merupakan contoh dimana isu tersebut dimainkan.
           

Daftar Pustaka

Al-Jazeera. (2016, February). Bahrain call back Ambassador. Retrieved April Rabu, 2016, from Al-Jazeera News: http://www.aljazeera.com/news/2015/07/bahrain-iran-150726050328684.html
Al-Monitor. (17, February 2016). Turkey - Saudi Arabian Iran Strife Opportunities and Perils. Retrieved April Rabu, 2016, from Al-Monitor News: http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2016/01/turkey-saudi-arabia-iran-strife-opportunities-and-perils.html
Anonymous. (n.d.). BBC News Service. Retrieved from http://www.bbc.com/news/world-middle-east-35099318
CIA. (n.d.). Retrieved April 14, 2016, from https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/print_mu.html
CIA, F. (n.d.). Retrieved April 15, 2016, from https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/mu.html
Detiknews. (2011, 15 Februari). Iran Kecam Pengiriman Pasukan Arab Saudi ke Bahrain. Retrieved April Rabu, 2016, from http://news.detik.com/berita/1591787/iran-kecam-pengiriman-pasukan-arab-saudi-ke-bahrain?nd992203605
Euronews. (16, Desember). What do Russia and Iran think about Saudi Arabia's Coalition Initiative. Retrieved April Rabu, 2016, from http://www.euronews.com/2015/12/15/what-do-russia-and-iran-think-about-saudi-arabia-s-coalition-initiative/
Gambrell, J. (2016, February). A Timeline of Iran and Saudi Arabia’s Crumbling Relations. Retrieved April Rabu, 2016, from Haaretz Israeli Agency News: http://www.haaretz.com/middle-east-news/1.695442
Gambrell, J. (2016, January 04). Haaretz. Retrieved April 13, 13, from http://www.haaretz.com/middle-east-news/1.695442
Germany, D. (2016, April 01). Bagaimana Nasib Minoritas Sunni di Iran? Retrieved April 15, 2016, from http://www.dw.com/id/bagaimana-nasib-minoritas-sunni-di-iran/a-18962977
Hussein, A. A. (2000). So History Doesn’t Forget : Alliances Behaviour in Foreign Policy of the Kindom of Saudi Arabia.
Katzman, K. ( 2016. ). Iran : Politics, Gulf Security, and U.S. Policy. Congressional Research Sevice , 02.
Kechician, J. (n.d.). Oman : A Unique Foreign Policy Produces a Key Player in Middle Eastern and Global Diplomacy. Retrieved April 15, 2016, from http://www.rand.org/pubs/research_briefs/RB2501.html
News, A.-J. (2016, February). Bahrain - Iran Relations. Retrieved April Rabu, 2016, from http://www.aljazeera.com/news/2015/07/bahrain-iran-150726050328684.html
Schwanitz, W. G. (n.d.). Iran’s Rivalry with Saudi Arabia : A Story of Conflict Between the Guld Wars. 02.
Wegerhoff, C. (2015, December). Kritik Atas Penjualan Tank Jerman ke Arab Saudi. Retrieved April Rabu, 2016, from DW News: http://www.dw.com/id/kritik-atas-penjualan-tank-jerman-ke-arab-saudi/a-15215250